Jumat, 21 November 2014

TAPI SAAT..



"Kenapa aku tidak pernah kau puji?"
"Biar terbiasa tidak berharap apapun sekalipun pujian yang bisa melalaikan."
"Tapi jika begitu, kenapa aku selalu kau kritisi?"
"Biar terbiasa kuat, tidak cengeng dan rapuh."
"Tapi itu tidak seimbang namanya, membiasakan orang mati koma tapi tidak pernah memberi hidup."
***

Membaca, menulis dan menuai..
Sebegitu seterus yang aku tahu. Perlahan aku rapuh tapi kadang ingin tetap gigih berjuang. Membuktikan.. dan jatuh tersungkur dan bangkit, tertatih. Adalah perih yang terekam di sela usaha yang kemudian mengembang lantas ditembak mati terjun tanpa payung. 

Selera dan cara pandang dan bahkan mungkin kualitas, kapasitas atau apalah itu yang kemudian menjadikan kita tidak se-kasta. Kalau aku suka metropop dan kau penggemar karya nobel, apakah salah? Tapi kita tidak sepaham. Itu masalahnya.. KITA TIDAK SEPAHAM. Atau aku bersikukuh mengikuti caramu sedang batinku tak setuju, atau caramu membuatku mengerti adalah hal yang sulit kumengerti. Dan semua ini sungguh melelahkan. Tiba-tiba aku benci baca, puitika dan rasionalitas jika itu melulu membahas tentang isi, pemikiran rumit dan ilmu sastraisme yang kau agung-agungkan. Tidak bisakah kita bersenang-senang dengan apa yang kita suka? 

Aku ingin membaca dengan sederhana. Menghargai setiap karya. Jangan cela. Jangan pula sisakan ejek. Jika kau ingin mengajakku melihat apa yang baik bagimu, sesekali bagikan saja permen manis dan bukan melulu cabai pedas. Bisakan? Aku ini rapuh, tuan. Jika kau hantam, aku pasti langsung mati. Tapi aku masih ingin hidup. Itu mengapa aku terlalu lama koma. Kau tahu apa artinya? Koma? Hidup tanpa kepastian. Berbuat saja tidak tapi mati juga teramat enggan. Jika kau terus membuatku koma, bagaimana aku bisa mencipta karya?

Aku diam disini. Disela sisi tulisan yang baru saja kau maki. Katamu hidup yang baik bagiku adalah terus mendengar kritik. Tapi jiwaku terlalu ngilu, tuan. Bisakah kau sisakan pujian disekian banyak kata burukmu? Aku sungguh tidak bisa terus hidup dalam dendam. Mendendamimu dengan segala pembuktian. Aku pelan-pelan takut jika bukti itu sendiri, nantinya hilang dan tak pernah kutemukan. Aku juga tidak bisa berlama-lama hidup berselimut takut nan kutuk. Jadi berbaik hatilah, sebaik hati kau saat sibuk mendengar. Sebentar saja dengarkan aku dan segenap ejaku yang terpatah, bukan melulu si syahdu yang fasih lagi sudah hebat. 

Asal kau tau, tuan.
Sungguh aku susah payah hadapi jengah.
Tapi saat..
Suatu ketika nanti..
Ajaibmu menuntun kau tuk berucap ramah..
Aku seolah sedia hidup lebih lama lagi..
Bersedia hidup..
Lebih lama lagi..
Sungguh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar