Selasa, 19 Januari 2016

Mengenang 2015, Menggenggam SARAH!


Saya yakin, sosok wanita karier pun juga mendamba memiliki cukup waktu mengurus rumah tangga dan menikmat kasih sayang bersama suami dan putra-putrinya di tengah gempuran pekerjaan yang menyita banyak waktunya. Bagi saya, wanita karier yang tetap peduli terhadap kewajibannya sebagai ibu dan istri adalah wanita super. Yah, hidup kadang mesti begitu, tidak semua laki-laki langsung mendapat pekerjaan bagus dan mampu mencukupi kebutuhan keluarga untuk kemudian dapat memposisikan istrinya "cukup di rumah saja" sehingga bukan hal yang salah jika akhirnya sang istri mesti turut bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup dan gulir perekonomian keluarga. Namun kadang tidak melulu perkara mencukupi kebutuhan hidup, saya juga tidak dapat membayangkan bagaimana seandainya dunia tanpa perawat, tanpa bidan, tanpa dukun pijat perempuan dan lantas, bagaimana dengan nasib saya...

Pernikahan benar-benar telah membawa berkah tersendiri dalam kehidupan saya. Setelah segala jenis keruwetan dan berbagai sensasi pekerjaan saya lakoni, akhirnya saya mesti mengabdi utuh untuk suami dan rumah tangga saya. Alhamdulillah sekali memang, saya memiliki sosok suami bertanggung jawab dan berpenghasilan cukup "versi saya" sehingga saya tidak keberatan saat suami meminta saya cukup menjadi Ibu Rumah Tangga, belajar beraneka ragam menu masakan dan mempersiapkan generasi super dengan berbagai ilmu dan pengalaman yang kami miliki. Allahu Akbar, Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban.

Sarah diproses dengan begitu cepat dan tanpa di sangka-sangka. 18 Maret 2015 saya menikah, 22 Maret 2015 saya resmi pindah ke Madiun dan awal April kabar kehamilan itu datang. Sungguh super. Awalnya saya mengira bahwa saya mederita masuk angin akibat rasa lelah seusai "boyongan", hingga dipanggilah dukun pijet bernama nenek Sipon. Namun kemudian, saya terserang rasa mual, mudah letih dan itu yang kemudian mengusik jiwa usil suami saya untuk membeli test pack yang hasilnya sungguh memukau. Saya hamil. Saya sempat panik saat bidan menyatakan saya hamil satu bulan padahal saya baru 2 minggu berumah tangga bersama suami. Usut punya usut hitungan itu dimulai dari tanggal terakhir saya pms. Wew. Hamil. Suatu hal di luar dugaan yang memporak-porandakan susunan acara traveling saya. Pun akhirnya kami tutup juga dengan penuh rasa syukur Alhamdulillah.

Selama hamil Sarah, hampir 5 bulan perut saya hanya mampu menerima asupan pentol, susu hamil dan obat dari bidan. Saya mual parah, muntah hingga tidak ada yang mampu dimuntahkan selain rasa pahit dan liur berwarna putih. Hampir setiap hari saya menangis dan suami saya bingung menenangkan dan hampir setiap kali juga saya berdoa agar diberi janin kembar sepasang agar kemudian saya tidak perlu hamil lagi dan merasakan sensasi kengerian ini. Ya, setiap kali pula suami saya mengingatkan agar saya banyak bersyukur mengingat masih banyak pasangan diluar sana yang begitu mendamba hadirnya buah hati. Begitulah lantas saya menikmati proses.

Sejak dikandung badan, Sarah memang bisa dibilang jabang yang tangguh. Usia satu bulan kehamilan saya rikueh PP ngebis Madiun-Bojonegoro dengan sensasi jalan mendadak dangdut guna mengurus surat pindah saya dan dilain kesempatan juga motoran dengan rute yang sama untuk memenuhi undangan hajatan salah satu rekan. Masuk bulan kedua, saya dan suami masih asyik motoran pergi ke candi Cetho dan yang paling super adalah saat masuk kehamilan bulan ke 4 hingga 5, saya ikut camping dan sahur on the road bersama konsulat Madiun alumni Gontor yang tak lain adalah rekan sepondok yang sudah seperti saudara bagi suami saya. Ibarat negeri 5 menara, mereka terdiri dari 8 sekawan. Sebagian sudah berumah tangga dan beranak pinak, sebagian lagi masih jomblo. Lucunya, 5 dari 8 kawanan yang sudah menikah ini, semuanya dikaruniai anak pertama perempuan. Mungkin ini sebagai kado akibat selama masa 6 tahun di pondok, para bapak ini hanya menemu lautan lelaki kali ya. Hehe.

26 Juli di usia kehamilan menuju 5 bulan, kami mengadakan acara resepsi pernikahan di Madiun karena memang sebagai anak bungsu dari 8 bersaudara, keluarga besar suami yang rata-rata berdomisili di luar Jawa baru bisa berkumpul di moment libur panjang sekolah dan hari raya tersebut. Terbayang kan betapa lelahnya aura resepsi, apalagi resepsi ala orang desa berlangsung sehari penuh siang-malam. Belum lagi prosesi bersih-bersih rumah mandiri yang menyita waktu hampir 5 hari karena memang seusai resepsi, saudara langsung pulang memburu tanggal 27 yang merupakan hari pertama masuk usai libur panjang dan tentu para tetangga yang  sibuk "rewang" pun menyudahi masa "ngerewanginya" seiring usainya dengung sound resepsi. Yah, menikah itu memang yang paling melelahkan adalah "bersih-bersih seusai acaranya", ditambah di rumah hanya ada saya dan suami, ibu mertua yang rumahnya bersebelahanpun sudah sangat sepuh. Untungnya waktu itu ada mas Kholik, ponakan suami, anak dari kakak pertama yang bersedia bantu bersih-bersih rumah juga. Alhamdulillahnya, saya punya kebiasaan buruk yang begitu dimaklumi suami, yaitu setiap ada acara besar dan seusai bepergian, saya lebih suka mempercayakan urusan baju kotor ke laundry edisi paket komplit. :D  



2 Agustus jam 3 pagi saya dan suami nekat motoran ke Pacitan dan lanjut hingga menembus Trenggalek guna refreshing dan anggap saja sekaligus merayakan HUT suami yang jatuh 3 hari kemudian. Jam 8 malam kami sampai rumah dengan selamat. Disusul kemudian tanggal 6 Agustus saya mesti kembali ke Bojonegoro karena adanya acara resepsi adik saya disana. Yah, 2 minggu yang hampir tanpa jeda yang kemudian menyadarkan saya bahwa jabang saya ini ternyata anteng kalau diajak bepergian sekalipun sikon tubuh saya menolak asupan makanan. Setelahnya, karena si perut yang semakin membuncit dan alhamdulillah kami belum punya mobil yang artinya kalau bepergian naik motor bakal rikueh banget nggak bisa peluk suami dari belakang, maka dengan itu sesi jalan-jalan dibatasi hanya sekedar sampai seputaran kota.     

Jujur, selama hamil banyak masukan yang saya abaikan semisal trisemester awal kehamilan dilarang kecapaian tapi toh saya bismillah saja melancong sini sana, ada juga dengung perihal mesti jauh-jauh dari kucing padahal di rumah banyak kucing, orang hamil mesti rajin jalan pagi, well yang ini masih sedikit saya taati walau cuma saya lakoni di hari Minggu bersama suami karena di hari lain saya mesti buru-buru ke pasar dan masak sebelum suami berangkat kerja. Lagipula, saya pikir bersih-bersih rumah, nyapu dan ngepel juga sama sehatnya seperti rutin jalan pagi. Bisa dibilang saya "bandel" sekali tapi bukan berarti tanpa arti karena diam-diam saya pasrah saja pada yang menggaris hidup dengan beribu do'a. Allah Maha Kuasa, kadang orang yang sudah teramat berhati-hatipun bisa juga tertimpa musibah jika Ia berkehendak.

Hingga pada suatu ketika, Minggu, 6 Desember 2015 saya masih menikmati sesi jalan pagi, posting foto di fb dan juga sensasi lezatnya ngidam pentol. Semuanya berjalan normal, tidak ada perasaan apapun, hanya rasa lelah yang hebat yang membuat saya malas makan dan memilih tidur siang hingga pulas. Menjelang magrib, ada rasa ingin pup yang tak tersampaikan dan saya masih sehat wal afiat pun masih dilanda aura malas makan. Seharian itu saya ingat betul, saya hanya makan pentol, seporsi nasi dan mie instan. Menjelang jam setengah sebelas malam ketika saya kebelet pipis, saya panik. Bercak darah itu muncul. Saya terburu membangunkan suami saya yang tidak biasanya tidur lebih awal. Suami saya dalam keadaan setengah sadar berjalan mengetuk pintu rumah ibu, bercerita kalau saya bla-bla-bla, ibu mertua saya bilang kalau itu wajar, kata ibu, paling lahirannya 3 hari lagi. Suami saya otomatis lebih percaya kata ibunya yang sudah berpengalaman hingga beranak 8. Tanpa rasa panik dan mungkin sikon setengah sadar, suami saya dengan santainya menyuruh saya tidur kembali karena dikiranya saya mengalami kelelahan akibat bermain di taman dan rutinitas saya sehari-hari sebagai IRT.

Saya sedih, panik, sekaligus khawatir terjadi apa-apa pada si jabang dan tapi suami dan ibu mertua saya santai sekali. Satu-satunya hal yang bisa saya lakukan hanya menangis, bukan karena sakit, tapi karena nelangsa kok suami saya cuek sekali. Haha. Akhirnya karena tidak tega, tepat jam sebelas malam suami sayapun mengalah dan segera menghubungi bidan. Benar saja, setelah sampai di bidan ternyata saya sudah mengalami pembukaan 5. Suami saya seketika terkejut, pikirnya tadi saya akan tepat lahiran menurut HPL yaitu tanggal 15 Desember, oleh karenanya dia begitu santai. Well, suamipun bergegas mengambil tas berisi perlengkapan lahiran yang sudah saya siapkan jauh hari, ibu mertua saya yang memang sudah sepuh, bercucu 20 dan bercicit 10, saya minta sholat tahajut seperti yang rutin beliau lakukan, tak lupa saya minta restu semoga proses persalinan saya dilancarkan.



Saya melarang suami menghubungi orang tua saya dengan alasan sudah larut malam dan saya tidak ingin membuat mereka terutama ibu saya panik. Walhasil selain ibu mertua, suami saya lantas menghubungi mbak Khom dan bang Salim, kakak kesayangannya yang selama ini memang banyak membantu tanpa pamrih. Sedikit sisipan cerita tentang ngidam, selain hobi makan pentol, saya memang  kepikiran kalau punya anak perempuan ingin seperti anak perempuan mbak Khom, Fatma Salim alias Ling Erl. Alasannya, keponakan saya yang satu ini super rajin, cantik, pandai ngemong ke 3 adiknya, hobi masak, sederhana, pintar sekaligus hafidzah juz amma dan saat ini dia sedang berusaha menghafal Al-Qur'an. Pokoknya Subhanallah deh.

Singkat cerita, 7 Desember 2015 hanya berselang 2 jam 40 menit tepatnya jam 01.40 WIB, Sarah Shidqi Ardinta lahir secara normal di hari Senin Kliwon dengan BB 2,9 kg dan PB 46 cm. Sebuah proses mengharukan yang disaksikan suami, bidan dan 2 asistennya secara live dan penuh iringan do'a. Hasbunallah wanikmal wakil, nikmal mawla walatuashir. Kalimat itu tak henti saya sebut ditengah dera sakit punggung yang menghebat. Alhamdulillah, alhamdulillahirrabilalamin finally she was come. Sarah menangis kencang dan tapi langsung terdiam sesaat setelah ayahnya mengumandang adzan dan iqomat. Sarah kemudian diletakkan di dekapan saya, begitu tenang dengan keasyikannya mengemut jemari tangan sambari mata lebarnya bergerilya mengamati suasana baru sementara bidan sibuk menjahit berkas luka persalinan saya. Yep, moment paling haru itu terjadi. Suami saya sempat terisak, mengucap syukur, mengecup kening saya dan putrinya berulang dan menyelip kata "terimakasih" entah atas apa.

Saat lahir, Sarah terlilit tali pusar dan punggungnya penuh dengan gajih, kata bidan itu mungkin dampak hobi makan pentol. Hahaha. Tapi rambutnya lebat dan alhamdulillah kerak kepalanya sedikit sekali. Perihal ini, saya memang hobi masak kolak kacang hijau dan hampir setiap hari mengkonsumsi air kelapa pemberian cuma-cuma tukang sayur langganan saya. Disamping itu, Sarah punya sepasang lesung pipit dan mata yang indah menurut saya. Tapi yang terpenting, Sarah sehat.
Saya dan Sarah langsung diizinkan pulang hari itu juga setelah Sarah selesai dimandikan. Keesokan paginya, saya sudah mulai belajar memandikan Sarah. Karena saat itu pusarnya belum "pupak" maka saya hanya berani memandikan dengan metode sibin (di lap pakai air hangat), hari Kamis 3 hari saat pusarnya sudah "pupak", saya kembali belajar memandikan Sarah dalam bak mandi bayi.

Seminggu pertama sejak kehadiran Sarah, saya kembali hobi menangis. Kali ini karena saya merasa kasihan melihat suami mesti rela cuci piring dan tidur terpisah dari saya. Kehadiran sahabat, baik yang jauh maupun dekat, menyempatkan untuk menjenguk Sarah membuat saya kian terharu. Apalagi di tambah mesti melihat pemandangan ibu mertua yang kembali masak karena saya benar-benar nggak sempat masak kecuali hanya sebatas goreng-goreng. Begitulah. Semenjak ada Sarah, ada beberapa hal yang kian semarak. Saya jadi sering menggunakan mode aeroplane pada smartphone saya karena khawatir akan efek radiasi yang ditimbulkan khususnya bagi Sarah. Aktifitas begadang saya berganti dari searching kuis menjadi ganti popok pipis. Meski begitu, saya masih rutin menjalani kewajiban saya bebersih rumah dan sebagainya. Memiliki bayi, bagi saya bukan alasan untuk membiarkan rumah dalam mode "berantakan". Justru sebaliknya, semangat kebersihan dan kerapian harus kian digalakkan agar pikiran tidak ikut "awut-awutan".

Memiliki anak itu repot tapi lebih repot lagi kalau tidak punya anak. Bismillah, harapan saya saat ini semoga saya dan suami diberi kemudahan memberi pendidikan terbaik untuk Sarah dimulai dari mengerahkan segala hal yang kami bisa. Kelak Sarah tidak harus menjadi anak yang pintar dalam segala hal, yang terpenting Sarah mestilah pandai membawa diri dan bertanggung jawab atas segala hal yang dilakukannya. Semoga ia menjadi putri yang kuat iman, jujur dan berlimpah syukur. Barakallah, anakku.