Kamis, 31 Januari 2013

SURAT UNTUK "TUAN"-KU




Oleh : Shinta Ardinta
“Kalau tidak dibangunkan kok tidak pernah bangun sendiri. Anak macam apa itu, sudah besar, perawan kok malasnya minta ampun. Sholat subuh selalu kesiangan. Ee mbok ya ngerumangsani kalau ikut orang. Sini sibuk lari sana sini, mana yang kerja mana yang masak buat dia. Dikira aku ini pembantunya apa. !!!! ”
Suara bulik Minah bergumul penuh amarah, sesekali diiringi bunyi cipratan air, gelas dan alumunium yang mungkin saja sengaja dibanting, dipukul atau entah diapakan sampai menimbulkan bunyi yang begitu bising yang menunjang rasa muntapnya kepadaku. Ya kepadaku, mana mungkin kepada putrinya yang tersayang itu.
“Brakkk !!, cepat bangun.. , sudah siang ini. Kamu itu memang kurang ajar, saya yakin kamu pura – pura tidak dengar. Kamu itu kalau tidak saya marah ya tidak tahu diri, kalau dimarahi kok kesannya saya ini kejam sekali.”
Gebrakan pintu dan suara kesal bulik Minah kali ini menyembur di kamarku, ditelingaku. Aku bangun perlahan, mendesah, memicingkan mata mencoba mencari fokus menatap jam dinding, masih jam setengah 6 pagi.
*****
Ayah dan ibu berpisah. Ibuku dipenjara 2 tahun lalu, karena terbelit dan tak sanggup membayar hutang. Aku juga tidak tahu bagaimana hukumannya bisa seberat itu. Tapi itulah Indonesia, bagiku yang awam ini, hukum seolah hanya formalitas saja. Menjerat siapa yang tak punya, dan melepas asal ada imbalannya.

Senin, 28 Januari 2013

TUHAN-TUHAN YANG TERHORMAT !!!



Oleh : Shinta Ardinta

Pemerintahan semakin semrawut. Dunia politik adalah milik kaum elit. Yang kaya adalah raja. Tak peduli siapa sengsara asal awak sejahtera. Begitulah gambaran kehidupan masa itu.
Pagi itu tidak seperti biasa, seluruh perangkat sekolah tengah sibuk untuk bersiap menyambut kedatangan rombongan tamu agung yang tak lain adalah Presiden Indonesia beserta para pengawalnya dimana  turut juga di dalamnya sesosok Mentri Pendidikan dalam kunjungan mereka yang katanya sebagai bentuk perhatian dan kepedulian khususnya dalam bidang pendidikan, entahlah itu benar atau tidak karena yang aku tahu itu hanya sekedar katanya. Moment akbar itu juga turut mengundang hampir seluruh manusia penting yang ada di daerah itu mulai dari kepala sekolah, kepala desa, kepala daerah dan kepala-kepala yang lain yang punya gelar jabatan sebagai kepala.
Lebih dari itu, kepala sekolah tengah siap dengan murid terbaiknya yang dipilih untuk membacakan pidato singkat dalam prosesi penyambutan tamu agung itu. Arif namanya. Dia kakak kelasku yang saat ini juga tengah menjabat sebagai ketua OSIS di sekolahku. Mungkin adat pemimpin harus disambut oleh pemimpin pula, memang sedang mendemam kala itu. Walaupun cakupan apa dan siapa yang dipimpinnya jelas berbeda.
Jadi, terjadilah pembacaan teks pidato itu yang kelak akan mengabadikan nama kak Arif entah sebagai pahlawan atau sebagai pembangkang, tergantung siapa dan dari sisi mana kelak kak Arif dipandang.
Sebenarnya yang dipermasalahkan bukanlah isi dari teks pidato. Melainkan bagaimana cara kak Arif yang seharusnya membacakan kalimat “Tuan-tuan yang terhormat” menjadi begitu salah fatal namun mantap dengan mengubah kalimatnya sehingga terdengar lekat berbunyi “TUHAN-TUHAN YANG TERHORMAT”. Kalimat itu tidak terdengar satu dua kali saja, karena kalimat itu bisa diistilahkan sebagai kalimat sapaan, maka jadilah kalimat itu terdengar hampir di setiap kali kak Arif masuk pada paragraf yang berbeda.
Atas kejadian ini, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana mendadak suasana khidmat berubah menjadi dengungan manusia yang saling sibuk berbisik tak terkecuali sang Presiden dan para kepala yang turut diundang. Sempat juga aku perhatikan wajah kepala sekolah yang tengah kebakaran jenggot walaupun toh kenyataannya beliau tidak berjenggot.
*****
          Ruang kepala sekolah bagaikan sarang tawon siang itu. Kebanyakan siswa sibuk berdesakan untuk mendapatkan posisi yang pas dengan sudut pandang mereka dalam menyaksikan acara tanya jawab penting yang lebih mirip konferensi pers antara kak Arif dan dewan guru yang memiliki jabatan penting di sekolah. Karena pintu ruangan yang disterilkan dari siswa-siswi yang tidak berkepentingan, maka para penonton termasuk aku hanya bisa mengikuti prosesi sidang itu lewat jendela yang kebetulan tidak di tutup, dan turut mendengarkan percakapan manusia yang berkepentingan yang turut terbang menelusup melalui celah jendela atau pintu atau entah bagian mana saja yang bercelah.
          “Arif, tahu kamu dimana letak kesalahan kamu ?” tanya kepala sekolah dengan wajahnya yang sangar dan suaranya yang berat tapi teratur yang juga memperkuat dugaanku bahwa sebenarnya beliau tengah menderita marah yang tertahan dan ditahan-tahan.