Senin, 28 Januari 2013

TUHAN-TUHAN YANG TERHORMAT !!!



Oleh : Shinta Ardinta

Pemerintahan semakin semrawut. Dunia politik adalah milik kaum elit. Yang kaya adalah raja. Tak peduli siapa sengsara asal awak sejahtera. Begitulah gambaran kehidupan masa itu.
Pagi itu tidak seperti biasa, seluruh perangkat sekolah tengah sibuk untuk bersiap menyambut kedatangan rombongan tamu agung yang tak lain adalah Presiden Indonesia beserta para pengawalnya dimana  turut juga di dalamnya sesosok Mentri Pendidikan dalam kunjungan mereka yang katanya sebagai bentuk perhatian dan kepedulian khususnya dalam bidang pendidikan, entahlah itu benar atau tidak karena yang aku tahu itu hanya sekedar katanya. Moment akbar itu juga turut mengundang hampir seluruh manusia penting yang ada di daerah itu mulai dari kepala sekolah, kepala desa, kepala daerah dan kepala-kepala yang lain yang punya gelar jabatan sebagai kepala.
Lebih dari itu, kepala sekolah tengah siap dengan murid terbaiknya yang dipilih untuk membacakan pidato singkat dalam prosesi penyambutan tamu agung itu. Arif namanya. Dia kakak kelasku yang saat ini juga tengah menjabat sebagai ketua OSIS di sekolahku. Mungkin adat pemimpin harus disambut oleh pemimpin pula, memang sedang mendemam kala itu. Walaupun cakupan apa dan siapa yang dipimpinnya jelas berbeda.
Jadi, terjadilah pembacaan teks pidato itu yang kelak akan mengabadikan nama kak Arif entah sebagai pahlawan atau sebagai pembangkang, tergantung siapa dan dari sisi mana kelak kak Arif dipandang.
Sebenarnya yang dipermasalahkan bukanlah isi dari teks pidato. Melainkan bagaimana cara kak Arif yang seharusnya membacakan kalimat “Tuan-tuan yang terhormat” menjadi begitu salah fatal namun mantap dengan mengubah kalimatnya sehingga terdengar lekat berbunyi “TUHAN-TUHAN YANG TERHORMAT”. Kalimat itu tidak terdengar satu dua kali saja, karena kalimat itu bisa diistilahkan sebagai kalimat sapaan, maka jadilah kalimat itu terdengar hampir di setiap kali kak Arif masuk pada paragraf yang berbeda.
Atas kejadian ini, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana mendadak suasana khidmat berubah menjadi dengungan manusia yang saling sibuk berbisik tak terkecuali sang Presiden dan para kepala yang turut diundang. Sempat juga aku perhatikan wajah kepala sekolah yang tengah kebakaran jenggot walaupun toh kenyataannya beliau tidak berjenggot.
*****
          Ruang kepala sekolah bagaikan sarang tawon siang itu. Kebanyakan siswa sibuk berdesakan untuk mendapatkan posisi yang pas dengan sudut pandang mereka dalam menyaksikan acara tanya jawab penting yang lebih mirip konferensi pers antara kak Arif dan dewan guru yang memiliki jabatan penting di sekolah. Karena pintu ruangan yang disterilkan dari siswa-siswi yang tidak berkepentingan, maka para penonton termasuk aku hanya bisa mengikuti prosesi sidang itu lewat jendela yang kebetulan tidak di tutup, dan turut mendengarkan percakapan manusia yang berkepentingan yang turut terbang menelusup melalui celah jendela atau pintu atau entah bagian mana saja yang bercelah.
          “Arif, tahu kamu dimana letak kesalahan kamu ?” tanya kepala sekolah dengan wajahnya yang sangar dan suaranya yang berat tapi teratur yang juga memperkuat dugaanku bahwa sebenarnya beliau tengah menderita marah yang tertahan dan ditahan-tahan.
          “Iya pak, saya minta maaf. Saya khilaf.” aku dengar nada kak Arif merendah.
          “Mengapa kamu tidak khilaf dari kemarin, atau dari sebelum kamu membacakan teks pidato kamu yang konyol itu ?, tidakkah kamu berfikir akan adanya kejadian memalukan yang seperti ini sebelumnya ?” kali ini giliran wakil kepala sekolah yang berkomentar.
          Kak Arif belum sempat memberikan keterangan ketika seorang ibu paruh baya diperkenankan masuk ke dalam ruangan dan langsung menangis khas gaya khawatir seorang ibu pada putra kesayangannya. Rupa-rupanya, pihak sekolah juga langsung memberikan panggilan orang tua saat itu juga. Suasana semakin mencekam, firasatku seolah mengatakan tiada ampun bagi kak Arif. Hukuman terberat dari peristiwa penting ini mungkin setimpal dengan keputusan kepala sekolah kelak untuk mengeluarkan kak Arif dari jabatannya sebagai ketua OSIS sekaligus sebagai siswa dari SMA Harapan Bangsa.
          “Saya sungguh tidak menduga akan terjadi kejadian memalukan yang telah dilakukan oleh siswa yang saya pilih dengan  keyakinan saya sendiri bahwa dia bisa dipercaya untuk menampilkan yang tebaik pada tamu terbaik yang pernah saya terima, tapi nyatanya tidak” kepala sekolah mulai menunjukkan rasa kecewanya.
          ”Sebenarnya kamu itu kenapa, nak ? mengapa kamu melakukan ini semua ?” suara ibu kak Arif terdengar parau karena bercampur dengan sengalan nafas dan air mata yang mengalir di mata tapi tersumbat di hidung.
          ”Ibu maafkan saya, saat membacakan naskah pidato itu entah bagaimana saya berfikir kalau yang saya hadapi bukanlah sekedar presiden, mentri, kepala daerah, atau kepala-kepala penting lainnya. Mereka semua rasanya tak layak kalau hanya mendapat sebutan sebagai tuan. Lebih dari itu, mereka memang sepantasnya mendapat sapaan sebagai Tuhan.” kak Arif berusaha menjelaskan alam pikirnya secara gamblang.
          Suasana diluar ruangan tak kalah panik saat mendengar pernyataan dari kak Arif, semua penonton terdengar tengah mengatur nafas untuk detik-detik klimaks kasus ini.
          ”Tapi mereka tetap bukan Tuhan, nak. Mana ada Tuhan bisa dilihat ? apa kau sakit ? demam panggung mungkin ? berilah alasan yang masuk akal. Karena ibu pun tidak mengerti maksud perkataanmu.” ibu kak Arif makin terisak. Mungkin malu, kesal pun gemas.
          ”Karena yang aku tahu Tuhan itu berkuasa, bu. Tuhan juga berkehendak sekehendakNya. Tuhan pun mengutuk, menghakimi semauNya sendiri tanpa butuh pertimbangan dari siapapun. Kebenaran mutlak itu kan milik Tuhan, bu. Dan aku melihat bahkan lebih tepatnya merasakan itu semua pada raut wajah mereka, pada cara pemerintahan mereka selama ini, pada setiap apa yang mereka lakukan. Aku ingin melawan tapi tak berdaya. Aku hanya bisa bersuara dan seolah diharuskan turut mengakui mereka sebagai Tuhan. Banyak sekali jenis Tuhan di era modern ini, bu. Lihatlah, bagaimana saat ini telah ada Tuhan yang lebih berhak menentukan siapa yang pantas jadi PNS dan siapa yang tidak. Ada juga Tuhan lain yang membuat keputusannya sendiri tanpa menimbang perasaan orang lain. Menggusur rakyat miskin yang meninggali tanah miliknya tanpa toleransi dan belas kasih. Bahkan jenis manusia Tuhan yang paling menyebalkan sedunia. Siapa patuh padaku dia aman, yang tidak patuh tentu banyak ancaman. Mirip sekali dengan Tuhan kan, bu ? Bedanya manusia jenis ini adalah manusia jenis Tuhan yang tanpa belas kasihan. Begitulah bagaimana mereka menuhankan diri mereka sendiri yang dimana akupun tida mampu melawan dan bahkan terpaksa turut menuhankan mereka. Maafkan aku, ibu” kak Arif seolah tidak memperhatikan siapapun selain ibundanya tercinta. Pada ibunya lah semua alasan itu terungkap berharap ibunya yang paling ia kasihi dan selama ini senantiasa memahinya, turut mengerti apa yang dipikirkan dan dirasakannya saat itu dalam sudut pandang yang mungkin baginya akan sulit dimengerti siapapun bahkan para Tuhan yang tadi ia sambut dan temui.
          Kami semua diam. Melongo. Yang kami tahu seminggu setelah kejadian itu kak Arif resmi dikeluarkan dari sekolah. Dia dianggap gila oleh Tuhan yang menjabat di bagian kepala sekolah pada SMA Harapan Bangsa. Tapi peristiwa itu begitu menghebohkan dunia. Entertainment, surat kabar, berita, dan segala jenis jaringan informasi begitu gencar menginformasikan peristiwa itu. Seolah turut menyuarakan pendapat kak Arif akan semakin banyaknya Tuhan yang menggunakan kekuasaannya dengan mutlak, tanpa pandang bulu, tanpa toleransi, tanpa perhatian, kasih sayang apalagi rasa peduli. TUHAN-TUHANKU YANG TERHORMAT, simaklah kisah ini. Apakah kau turut menjadi Tuhan yang menuhankan jabatanmu ? Apakah kau juga jenis tuhan yang turut mengutuk tulisan ini ? Suka kau jadi Tuhan yang begitu ? Tuhankah kau ?





Tidak ada komentar:

Posting Komentar