Oleh : Shinta Ardinta
Pemerintahan semakin semrawut. Dunia politik adalah milik kaum elit. Yang
kaya adalah raja. Tak peduli siapa sengsara asal awak sejahtera. Begitulah
gambaran kehidupan masa itu.
Pagi itu tidak seperti biasa, seluruh perangkat sekolah tengah sibuk untuk
bersiap menyambut kedatangan rombongan tamu agung yang tak lain adalah Presiden
Indonesia beserta para pengawalnya dimana turut juga di dalamnya sesosok Mentri Pendidikan
dalam kunjungan mereka yang katanya sebagai bentuk perhatian dan kepedulian
khususnya dalam bidang pendidikan, entahlah itu benar atau tidak karena yang
aku tahu itu hanya sekedar katanya. Moment akbar itu juga turut
mengundang hampir seluruh manusia penting yang ada di daerah itu mulai dari
kepala sekolah, kepala desa, kepala daerah dan kepala-kepala yang lain yang
punya gelar jabatan sebagai kepala.
Lebih dari itu, kepala
sekolah tengah siap dengan murid terbaiknya yang dipilih untuk membacakan
pidato singkat dalam prosesi penyambutan tamu agung itu. Arif namanya. Dia
kakak kelasku yang saat ini juga tengah menjabat sebagai ketua OSIS di
sekolahku. Mungkin adat pemimpin harus disambut oleh pemimpin pula,
memang sedang mendemam kala itu. Walaupun cakupan apa dan siapa yang
dipimpinnya jelas berbeda.
Jadi, terjadilah pembacaan teks pidato itu yang kelak akan mengabadikan
nama kak Arif entah sebagai pahlawan atau sebagai pembangkang, tergantung siapa
dan dari sisi mana kelak kak Arif dipandang.
Sebenarnya yang dipermasalahkan bukanlah isi dari teks pidato. Melainkan
bagaimana cara kak Arif yang seharusnya membacakan kalimat “Tuan-tuan yang
terhormat” menjadi begitu salah fatal namun mantap dengan mengubah kalimatnya
sehingga terdengar lekat berbunyi “TUHAN-TUHAN
YANG TERHORMAT”. Kalimat itu tidak terdengar satu dua kali saja, karena
kalimat itu bisa diistilahkan sebagai kalimat sapaan, maka jadilah kalimat itu
terdengar hampir di setiap kali kak Arif masuk pada paragraf yang berbeda.
Atas kejadian ini, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana
mendadak suasana khidmat berubah menjadi dengungan manusia yang saling sibuk
berbisik tak terkecuali sang Presiden dan para kepala yang turut diundang.
Sempat juga aku perhatikan wajah kepala sekolah yang tengah kebakaran jenggot
walaupun toh kenyataannya beliau tidak berjenggot.
*****
Ruang
kepala sekolah bagaikan sarang tawon siang itu. Kebanyakan siswa sibuk
berdesakan untuk mendapatkan posisi yang pas dengan sudut pandang mereka dalam
menyaksikan acara tanya jawab penting yang lebih mirip konferensi pers antara
kak Arif dan dewan guru yang memiliki jabatan penting di sekolah. Karena pintu
ruangan yang disterilkan dari siswa-siswi yang tidak berkepentingan, maka para
penonton termasuk aku hanya bisa mengikuti prosesi sidang itu lewat jendela yang
kebetulan tidak di tutup, dan turut mendengarkan percakapan manusia yang
berkepentingan yang turut terbang menelusup melalui celah jendela atau pintu
atau entah bagian mana saja yang bercelah.
“Arif, tahu kamu dimana letak kesalahan kamu ?” tanya kepala
sekolah dengan wajahnya yang sangar dan suaranya yang berat tapi teratur yang
juga memperkuat dugaanku bahwa sebenarnya beliau tengah menderita marah yang
tertahan dan ditahan-tahan.
“Iya
pak, saya minta maaf. Saya khilaf.” aku dengar nada kak Arif merendah.
“Mengapa kamu tidak khilaf dari
kemarin, atau dari sebelum kamu membacakan teks pidato kamu yang konyol itu ?,
tidakkah kamu berfikir akan adanya kejadian memalukan yang seperti ini
sebelumnya ?” kali ini giliran wakil kepala sekolah yang berkomentar.
Kak Arif belum sempat memberikan keterangan ketika seorang
ibu paruh baya diperkenankan masuk ke dalam ruangan dan langsung menangis khas gaya khawatir seorang ibu
pada putra kesayangannya. Rupa-rupanya, pihak sekolah juga
langsung memberikan panggilan orang tua saat itu juga. Suasana semakin
mencekam, firasatku seolah mengatakan tiada ampun bagi kak Arif. Hukuman
terberat dari peristiwa penting ini mungkin setimpal dengan keputusan kepala
sekolah kelak untuk mengeluarkan kak Arif dari jabatannya sebagai ketua OSIS
sekaligus sebagai siswa dari SMA Harapan Bangsa.
“Saya sungguh tidak menduga akan terjadi
kejadian memalukan yang telah dilakukan oleh siswa yang saya pilih dengan keyakinan saya sendiri bahwa dia bisa
dipercaya untuk menampilkan yang tebaik pada tamu terbaik yang pernah saya
terima, tapi nyatanya tidak” kepala sekolah mulai menunjukkan rasa kecewanya.
”Sebenarnya kamu itu kenapa, nak ?
mengapa kamu melakukan ini semua ?” suara ibu kak Arif terdengar parau karena
bercampur dengan sengalan nafas dan air mata yang mengalir di mata tapi
tersumbat di hidung.
”Ibu maafkan saya, saat membacakan
naskah pidato itu entah bagaimana saya berfikir kalau yang saya hadapi bukanlah
sekedar presiden, mentri, kepala daerah, atau kepala-kepala penting lainnya.
Mereka semua rasanya tak layak kalau hanya mendapat sebutan sebagai tuan. Lebih
dari itu, mereka memang sepantasnya mendapat sapaan sebagai Tuhan.” kak Arif
berusaha menjelaskan alam pikirnya secara gamblang.
Suasana diluar ruangan tak kalah panik
saat mendengar pernyataan dari kak Arif, semua penonton terdengar tengah
mengatur nafas untuk detik-detik klimaks kasus ini.
”Tapi mereka tetap bukan Tuhan, nak.
Mana ada Tuhan bisa dilihat ? apa kau sakit ? demam panggung mungkin ? berilah
alasan yang masuk akal. Karena ibu pun tidak mengerti maksud perkataanmu.” ibu
kak Arif makin terisak. Mungkin malu, kesal pun gemas.
”Karena yang aku tahu Tuhan itu
berkuasa, bu. Tuhan juga berkehendak sekehendakNya. Tuhan pun mengutuk,
menghakimi semauNya sendiri tanpa butuh pertimbangan dari siapapun. Kebenaran
mutlak itu kan milik Tuhan, bu. Dan aku melihat bahkan lebih tepatnya merasakan
itu semua pada raut wajah mereka, pada cara pemerintahan mereka selama ini,
pada setiap apa yang mereka lakukan. Aku ingin melawan tapi tak berdaya. Aku
hanya bisa bersuara dan seolah diharuskan turut mengakui mereka sebagai Tuhan.
Banyak sekali jenis Tuhan di era modern ini, bu. Lihatlah, bagaimana saat ini
telah ada Tuhan yang lebih berhak menentukan siapa yang pantas jadi PNS dan siapa
yang tidak. Ada juga Tuhan lain yang membuat keputusannya sendiri tanpa
menimbang perasaan orang lain. Menggusur rakyat miskin yang meninggali tanah
miliknya tanpa toleransi dan belas kasih. Bahkan jenis manusia Tuhan yang
paling menyebalkan sedunia. Siapa patuh padaku dia aman, yang tidak patuh tentu
banyak ancaman. Mirip sekali dengan Tuhan kan, bu ? Bedanya manusia jenis ini
adalah manusia jenis Tuhan yang tanpa belas kasihan. Begitulah bagaimana mereka
menuhankan diri mereka sendiri yang dimana akupun tida mampu melawan dan bahkan
terpaksa turut menuhankan mereka. Maafkan aku, ibu” kak Arif seolah tidak
memperhatikan siapapun selain ibundanya tercinta. Pada ibunya lah semua alasan
itu terungkap berharap ibunya yang paling ia kasihi dan selama ini senantiasa
memahinya, turut mengerti apa yang dipikirkan dan dirasakannya saat itu dalam
sudut pandang yang mungkin baginya akan sulit dimengerti siapapun bahkan para
Tuhan yang tadi ia sambut dan temui.
Kami semua diam. Melongo. Yang kami
tahu seminggu setelah kejadian itu kak Arif resmi dikeluarkan dari sekolah. Dia
dianggap gila oleh Tuhan yang menjabat di bagian kepala sekolah pada SMA
Harapan Bangsa. Tapi peristiwa itu begitu menghebohkan dunia. Entertainment,
surat kabar, berita, dan segala jenis jaringan informasi begitu gencar
menginformasikan peristiwa itu. Seolah turut menyuarakan pendapat kak Arif akan
semakin banyaknya Tuhan yang menggunakan kekuasaannya dengan mutlak, tanpa
pandang bulu, tanpa toleransi, tanpa perhatian, kasih sayang apalagi rasa
peduli. TUHAN-TUHANKU YANG TERHORMAT, simaklah kisah ini. Apakah kau turut
menjadi Tuhan yang menuhankan jabatanmu ? Apakah kau juga jenis tuhan yang
turut mengutuk tulisan ini ? Suka kau jadi Tuhan yang begitu ? Tuhankah kau ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar