Oleh : Shinta
Ardinta
Kamu
tahu tidak Toh, aku ingin lho mengucap “thank you” padamu. Ah.. tapi
ndak pantes, aku ini kan orang udik ya Toh, jadi ya pantesnya bilang ”matur
suwun” saja. Ngomong-ngomong soal ”matur suwun”, kalau aku boleh pamrih
sebenarnya kamu itu juga harus bilang begitu kepadaku lho, Toh. Kamu itu bukan
siapa-siapa tanpa aku Toh, aku pun juga tidak akan terkenal sampai ke tingkat
internasional kalau bukan karena kamu. Suwun lho ya Toh, kan jarang-jarang to ada ronggeng yang
jogetannya maknyeesss seperti aku, paling-paling jaman sekarang itu yang
terkenal ya jogetan ngebornya budhe Inul sama narinya ning Agnes yang
sensassional itu. Tapi kan mereka pada waras, nggak seperti aku ini yang pinter
ngeronggeng sekaligus kamu buat sinting. Tapi aku bangga lho, Toh. Ketenaranku
sampai diabadikan di lembar-lembar skripsi para mahasiswa begitu, cerita
tentang aku juga dicetak dalam berbagai bahasa pula. Waahhh.. pokok e manteppp
wess. Gak onok sing cetarrrr membahana koyok sliraku iki ya Toh !!
*****
Aku masih ingat betapa lama novel itu ngendog
di kamarku. Aku tidak pernah bosan membolak-balik halamannya, membacanya
lagi dan lagi, berharap alurnya bisa berubah seperti yang aku inginkan. Tapi
tetap tidak ada perubahan. Aku berharap bisa merobek beberapa halamannya,
menggantinya dengan halaman baru yang alur ceritanya aku tulis sendiri
sekehendakku, tapi malang nian novel itu bukan milikku. Aku masih berusaha,
menyempatkan waktu melihat film yang diilhami dari si novel, berharap sang
sutradara memberi sedikit kebahagiaan pada endingnya,
tapi nihil. Aku frustasi. Ini gara-gara Toh... !!!!
”Gimana nyah, sudah selesai baca novelnya?, ndang dikembalikan to, gantian.” Anjani
menyapaku diujung pintu ketika aku baru saja memarkir motorku di rumah ilmu itu.
”Sabar to jeng, sik dalam proses semedi iki
novelnya.” jawabku sekenanya.
”Halah nyah, baca novel dari jaman Fir’aun sampai
jaman Kir’un kok nggak kelar-kelar, jane
ki leh mu baca apa per huruf leh ?”
Anjani asal nyeplos.
Aku merengut. Hari ini mendadak Anjani
sama saja semenyebalkan arjunanya, siapa lagi kalau bukan “Toh”. Manusia berdua
itu memang klop sekali kalau bicara soal buku. Jangan-jangan kalau mereka
menikah kelak, bata rumahnya terbuat dari buku, semennya terbuat dari bubur
buku, bahkan mungkin juga susunan atapnya yang akan sumringah dengan berbagai
wajah buku. Aku menahan geli sendiri ketika sadar telah membiarkan pikiranku
jauh menghakimi pasangan berdua itu.
”Bagus apa tidak nuw nyah ceritanya?” Anjani menanyaiku sambil matanya tetap menari
mengikuti alur buku tebal yang tengah terhidang di mukanya.
”Yo poll wi
to lehh... yo’opo sih je?” bahasaku kucampur sekenanya menandakan ruwet
pikiranku.
”Kamu kenapa nyah? Kok kelihatannya muangkel gitu?” Anjani mulai
menyadari ketidaknyamanan bathinku, mungkin naluri kepekaannya meningkat
setingkat dengan tumpukan buku yang sukses dia baca.
”Nggak kenapa-kenapa kok jeng, lagi sebel saja
sama kang masmu yang kaya’ petruk itu.”
”Wong bagus e kaya’ gitu dibilang petruk cah..”
kali ini Anjani protes.
”Heleh, itu lak
bagimu. Bagimu pandanganmu, bagiku pandanganku. Hahaha..”
Aku tertawa, sedang Anjani malah ganti mencucu.
*****
”Ini novelmu Toh, suwun ya sudah membuat aku sakit hati.”
”Ladala, sudah minum obat belum? Minum temulawak
lho nyah, biar cepat sembuh hatinya.” Tohir mencoba ngelucu tapi sungguh tidak
lucu.
”Eee mbuh Toh,
asem tenan kok sliramu iku.”
”Lha memang aku belum mandi to nyah, makanya bau
asem. Haha.. nyonya ini tahuuu saja.”
”Makan tu tahu.” rasanya bathinku mau meledak,
tapi dia tidak punya cukup bom untuk kuledakkan. Aku hanya punya bom air mata
di sudut retinaku, maka aku biarkan saja dia meledak.
”Lha kok malah nangis. Duh Gusti, memang susah
jadi diriku ini. Banyak yang naksir euuyyy..”
Tidak. Aku tidak cemburu pada Toh yang
tengah memadu kasih dengan Anjani. Pasangan berdua itu biarlah begitu adanya. Aku
sebal bukan karena aku naksir Toh, melainkan belakangan ini aku jadi sukar
tidur gara-gara memikirkan nasib Srintil.
Jadi novel itu adalah milik Toh, aku meminjamnya setelah Toh
berhasil mendongengkan sekelumit kisahnya dengan caranya sendiri yang bisa
membuat mataku ini mendadak kelaparan. Dan siapa sangka kalau setelah membaca
novel itu, mataku yang cantik lentik seperti bulu itik ini akhirnya ngiler air
mata.
*****
Sudah
setengah tahun ini Srintil njoget dipikiranku. Tubuhnya yang ginuk-ginuk
membuat aku nelangsa sekaligus keki sama Ronggeng Dukuh Paruk yang nasibnya
dirusak Toh. Kalau saja Srintil cukup cerdas untuk menulis, maka mungkin dia
akan menulis kisahnya sendiri hingga tidak perlu minta tolong dituliskan
takdirnya oleh si Toh yang menyebalkan itu. Kalau saja Srintil tahu hukum, dia
pasti sudah menuntut Tohari untuk sekian persen buku hasil penjualan kisahnya.
Ah Srin, coba kamu cerdas sedikit.
Laki-laki
memang begitu ya Srin, suka menyakiti. Atau kita yang terlalu sensitif?. Aku
mangkel sama Toh, begitupun mungkin kamu. Semuanya tidak akan jadi begini kalau
aku tidak kenal Toh, dan Toh tidak menulis kisahmu. Harusnya kita tidak usah
bertemu Srin, menemuimu walau hanya dalam bayangan yang kuciptakan sendiri
adalah sakit. Kamu tahu tidak, aku sukar tidur belakangan ini karena gemas
memikirkanmu, kebodohanmu, keluguanmu, sekaligus keluwesanmu. Aku kadang tidak
habis pikir siapa ditolak siapa atau siapa menolak siapa. Kamu dan Rasus itu
adalah ikatan senyawa yang aneh. Seperti morfin yang mencandu tapi kadaluarsa. Harusnya
aku tidak perlu menerima pinjaman novel milik Tohir, dan Tohari tidak perlu
mempermalukanmu seperti itu. Kamu itu cantik Srin, kau mungkin pernah salah
tapi tidak untuk selalu dipersalahkan, apalagi disintingkan sedemikian rupa. Mungkin
benar ini semua gara-gara TOH, tapi kalau tidak begini ya tidak ada ceritanya
ya Srin.....til !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar