Sabtu, 26 Januari 2013

GARA-GARA “TOH...”

             


Oleh : Shinta Ardinta

Kamu tahu tidak Toh, aku ingin lho mengucap “thank you” padamu. Ah.. tapi ndak pantes, aku ini kan orang udik ya Toh, jadi ya pantesnya bilang ”matur suwun” saja. Ngomong-ngomong soal ”matur suwun”, kalau aku boleh pamrih sebenarnya kamu itu juga harus bilang begitu kepadaku lho, Toh. Kamu itu bukan siapa-siapa tanpa aku Toh, aku pun juga tidak akan terkenal sampai ke tingkat internasional kalau bukan karena kamu. Suwun lho ya Toh, kan jarang-jarang to ada ronggeng yang jogetannya maknyeesss seperti aku, paling-paling jaman sekarang itu yang terkenal ya jogetan ngebornya budhe Inul sama narinya ning Agnes yang sensassional itu. Tapi kan mereka pada waras, nggak seperti aku ini yang pinter ngeronggeng sekaligus kamu buat sinting. Tapi aku bangga lho, Toh. Ketenaranku sampai diabadikan di lembar-lembar skripsi para mahasiswa begitu, cerita tentang aku juga dicetak dalam berbagai bahasa pula. Waahhh.. pokok e manteppp wess. Gak onok sing cetarrrr membahana koyok sliraku iki ya Toh !!
*****
            Aku masih ingat betapa lama novel itu ngendog di kamarku. Aku tidak pernah bosan membolak-balik halamannya, membacanya lagi dan lagi, berharap alurnya bisa berubah seperti yang aku inginkan. Tapi tetap tidak ada perubahan. Aku berharap bisa merobek beberapa halamannya, menggantinya dengan halaman baru yang alur ceritanya aku tulis sendiri sekehendakku, tapi malang nian novel itu bukan milikku. Aku masih berusaha, menyempatkan waktu melihat film yang diilhami dari si novel, berharap sang sutradara memberi sedikit kebahagiaan pada endingnya, tapi nihil. Aku frustasi. Ini gara-gara Toh... !!!!
*****
”Gimana nyah, sudah selesai baca novelnya?, ndang dikembalikan to, gantian.” Anjani menyapaku diujung pintu ketika aku baru saja memarkir motorku di rumah ilmu itu.
”Sabar to jeng, sik dalam proses semedi iki novelnya.” jawabku sekenanya.
”Halah nyah, baca novel dari jaman Fir’aun sampai jaman Kir’un kok nggak kelar-kelar, jane ki leh mu baca apa per huruf leh ?” Anjani asal nyeplos.
            Aku merengut. Hari ini mendadak Anjani sama saja semenyebalkan arjunanya, siapa lagi kalau bukan “Toh”. Manusia berdua itu memang klop sekali kalau bicara soal buku. Jangan-jangan kalau mereka menikah kelak, bata rumahnya terbuat dari buku, semennya terbuat dari bubur buku, bahkan mungkin juga susunan atapnya yang akan sumringah dengan berbagai wajah buku. Aku menahan geli sendiri ketika sadar telah membiarkan pikiranku jauh menghakimi pasangan berdua itu.
”Bagus apa tidak nuw nyah ceritanya?” Anjani menanyaiku sambil matanya tetap menari mengikuti alur buku tebal yang tengah terhidang di mukanya.
Yo poll wi to lehh... yo’opo sih je?” bahasaku kucampur sekenanya menandakan ruwet pikiranku.
”Kamu kenapa nyah? Kok kelihatannya muangkel gitu?” Anjani mulai menyadari ketidaknyamanan bathinku, mungkin naluri kepekaannya meningkat setingkat dengan tumpukan buku yang sukses dia baca.
”Nggak kenapa-kenapa kok jeng, lagi sebel saja sama kang masmu yang kaya’ petruk itu.”
”Wong bagus e kaya’ gitu dibilang petruk cah..” kali ini Anjani protes.
”Heleh, itu lak bagimu. Bagimu pandanganmu, bagiku pandanganku. Hahaha..”
Aku tertawa, sedang Anjani malah ganti mencucu.
*****
”Ini novelmu Toh, suwun ya sudah membuat aku sakit hati.” 
”Ladala, sudah minum obat belum? Minum temulawak lho nyah, biar cepat sembuh hatinya.” Tohir mencoba ngelucu tapi sungguh tidak lucu.
Eee mbuh Toh, asem tenan kok sliramu iku.”
”Lha memang aku belum mandi to nyah, makanya bau asem. Haha.. nyonya ini tahuuu saja.”
”Makan tu tahu.” rasanya bathinku mau meledak, tapi dia tidak punya cukup bom untuk kuledakkan. Aku hanya punya bom air mata di sudut retinaku, maka aku biarkan saja dia meledak.
”Lha kok malah nangis. Duh Gusti, memang susah jadi diriku ini. Banyak yang naksir euuyyy..”
Tidak. Aku tidak cemburu pada Toh yang tengah memadu kasih dengan Anjani. Pasangan berdua itu biarlah begitu adanya. Aku sebal bukan karena aku naksir Toh, melainkan belakangan ini aku jadi sukar tidur gara-gara memikirkan nasib Srintil.
Jadi novel itu adalah  milik Toh, aku meminjamnya setelah Toh berhasil mendongengkan sekelumit kisahnya dengan caranya sendiri yang bisa membuat mataku ini mendadak kelaparan. Dan siapa sangka kalau setelah membaca novel itu, mataku yang cantik lentik seperti bulu itik ini akhirnya ngiler air mata.
*****
            Sudah setengah tahun ini Srintil njoget dipikiranku. Tubuhnya yang ginuk-ginuk membuat aku nelangsa sekaligus keki sama Ronggeng Dukuh Paruk yang nasibnya dirusak Toh. Kalau saja Srintil cukup cerdas untuk menulis, maka mungkin dia akan menulis kisahnya sendiri hingga tidak perlu minta tolong dituliskan takdirnya oleh si Toh yang menyebalkan itu. Kalau saja Srintil tahu hukum, dia pasti sudah menuntut Tohari untuk sekian persen buku hasil penjualan kisahnya. Ah Srin, coba kamu cerdas sedikit.
            Laki-laki memang begitu ya Srin, suka menyakiti. Atau kita yang terlalu sensitif?. Aku mangkel sama Toh, begitupun mungkin kamu. Semuanya tidak akan jadi begini kalau aku tidak kenal Toh, dan Toh tidak menulis kisahmu. Harusnya kita tidak usah bertemu Srin, menemuimu walau hanya dalam bayangan yang kuciptakan sendiri adalah sakit. Kamu tahu tidak, aku sukar tidur belakangan ini karena gemas memikirkanmu, kebodohanmu, keluguanmu, sekaligus keluwesanmu. Aku kadang tidak habis pikir siapa ditolak siapa atau siapa menolak siapa. Kamu dan Rasus itu adalah ikatan senyawa yang aneh. Seperti morfin yang mencandu tapi kadaluarsa. Harusnya aku tidak perlu menerima pinjaman novel milik Tohir, dan Tohari tidak perlu mempermalukanmu seperti itu. Kamu itu cantik Srin, kau mungkin pernah salah tapi tidak untuk selalu dipersalahkan, apalagi disintingkan sedemikian rupa. Mungkin benar ini semua gara-gara TOH, tapi kalau tidak begini ya tidak ada ceritanya ya Srin.....til !
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar