Rabu, 31 Desember 2014

Menggenggam 2014!



Pengalaman menjadi Juri Nasyid di 2014

Catatan ini adalah sebuah bentuk syukur dan sekaligus tolok ukur untuk apa saja yang telah dan belum saya capai. Tentu tahun yang lelah untuk sepanjang 2014 tapi sekaligus menyenangkan. Saya banyak bersyukur untuk kesemuanya itu karena ternyata hingga detik ini saya masih diamanahi hidup oleh Allah SWT yang itu artinya semoga setiap bulirnya akan menjadi detik yang berkesan.

2014..
Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, hingga pukul 12:57 WIB saat saya mencatat tulisan ini, saya belum mengoleksi satu bentuk penghargaan-pun berupa juara 1, 2 ataupun 3 dari berbagai lomba ber"piala" yang saya ikuti ditahun ini mulai dari lomba blog, lomba cerpen hingga lomba pidato Bahasa Inggris. Oh, sebagai catatan kecil, sebenarnya pada ajang lomba pidato saya mendapat peringkat pertama saat babak penyisihan namun harus berpuas duduk manis di posisi ke-empat untuk babak final. Baiklah!. Apakah lantas saya kemudian putus asa? Tentu.. atau barangkali Tidak. Saya memang terbiasa membentuk diri saya untuk "berpartisipasi" dan "mencari lagi" terutama pada ajang-ajang lomba yang sekiranya saya mampu. Tidak terkecuali dalam berbagai ajang berburu giveaway. Hingga ketika saya gagal pada satu ajang, saya tidak perlu sedih berlarut karena saya masih punya bayak stok harapan-harapan lain yang walau lebih banyak berstatus "ZONK" tapi paling tidak telah mampu membuat diri saya bersikap aktif berburu daripada sibuk tidur dan puas bermimpi. Saya akui, saya memang gila lomba, hadiah dan gratisan atau apapun itu yang pasti semoga sebisa mungkin tidak gila "asal" minta. Eh, ikut berburu giveaway itu harus berjuang dulu lho, share ini, klik itu, mention sini, dibully gara-gara menuhin beranda situ belum lagi saingannya banyak bukkk! :D :) ^^v

Senin, 22 Desember 2014

Keluarga Nuklir #MenjagaApi


Keluargaku selaksa nuklir. Meledak dan bertambah banyak. Aku tidak hanya mempunyai sepasang orang tua tetapi dua sekaligus. Atau tiga? Ayah ibuku berpisah saat aku berusia 5 tahun, kakak lelakiku 10 tahun dan adik perempuanku 7 bulan. Hidup setelahnya adalah seperti merantau, mengadu nasib dan menyusun serpih puzzle yang terlanjur hancur. Orang tuaku, masing-masing memutuskan menikah lagi.

Ibu kandung dan ayah baruku.

Saat usiaku menginjak 8 tahun, aku tidak lagi tinggal bersama ibu seperti kedua saudaraku yang lain. Aku tinggal bersama keluarga pakde, kakak lelaki ibuku. Lengkap sudah. Perasaan haru kerap berseteru setiap kali pikiran kekanakanku muncul, merasa dunia begitu asing dan menyedihkan. Sejak saat itu aku hanya mampu bersemoga agar supaya ayah, ibu dan saudara-saudara kandungku selalu sayang aku. Semoga aku lantas tumbuh menjadi pribadi yang baik.

Saudara sepupu, putra-putri pakdeku.

Jalan yang panjang, mimpi yang semburat dan aku yang kian tumbuh. Hidup, banyak membuatku belajar akan makna syukur. Jika ditengok kembali, setidaknya aku bersyukur masih dapat menikmat makan, tidur, melanjutkan pendidikan dan menjumpa banyak perhatian dari keluarga nuklirku. 

....
Setelah 10 tahun tinggal bersama keluarga pakdeku, aku memutuskan untuk melanjutkan hidup bersama keluarga ayahku.
....

Bersama keluarga baru ayahku.

Usiaku saat ini 22 tahun, bekerja sebagai penyiar radio, tergabung dalam grup musik keroncong, aktif dalam komunitas literasi dan merangkap menjadi guru les. Tidak banyak yang tahu bahwa saat sekolah dulu aku pernah menjajakan bubur kacang hijau, makanan ringan dan buah anggur hasil panen kebun pakdeku.

Dua pasang orang tua dan sepasang lagi adalah pakde budeku. Dua saudara kandung, empat saudara tiri dan empat saudara sepupu membuat semarak garis hidupku. Akulah si musafir itu, mencari jejak cinta, berpindah induk, menemu banyak saudara. Merajut ilmu ikhlas dan lapang dada dari pedih yang kadang mematikan tapi semoga selalu menguatkan. Aku mungkin terlalu istimewa hingga perlu dididik besarkan oleh tiga pasang orang tua sekaligus. Oleh karenanya aku berdo’a semoga Allah senantiasa memudahkan segala urusan dunia akhirat keluarga nuklirku. 

Rabu, 17 Desember 2014

TERENDAP


Sekedar bersandar setelah 7 tahun yang panjang. Langit meratap hingga jatuh sudah peluh sedunya, menancap diujung kepalaku. Kau bilang segala usai di masa lampau adalah suatu fatal yang enggan kau ulang pun tidak ingin kau buang hilang. 

"Menyesal, tidak. Dibuang sayang, iya." 
"Dia orang baik. Sedang kita hanya punya masa lalu."
"Setelah hari ini, tidak ada lagi pertemuan-pertemuan gila kan?"
"Menurutmu?"

Kau sibuk mengusap ujung mataku yang berbulir, bersuhu kontras dengan apa yang disebar gerimis. Diam yang panjang. Aku mengalih pandang, bermain pasir pantai yang mulai menggumpal, terendap, seperti rasaku yang mati kaku. Ingin yang tidak ingin. Sulit yang menyulitkan. Pisah yang lelah. Angan yang lengang. 

”Terimakasih untuk hari ini.”
”Untuk?”
”Untuk masih mau sekali lagi berbagi.”

Ujung batas yang riuh. Gulung gelombang nan pasir yang merapatkan genggamannya dijemari air hingga berbuih. Semua terekam, bersama gerimis yang terjun tipis-tipis. Dan kita pulang. Memulangkan rindu, menuntaskan ragu.

Selasa, 02 Desember 2014

My 22nd Year's Old


Crazy Little Thing Called STRES! :D :p

"Hidup memberimu hidup beserta semerbak nafas yang kau laju perlahan. Hidup pula yang turut mengundang makna mereka untuk datang mengisi setiap relung dalam batinmu, kemudian menaut lagi terpatri hingga mati." 
-Shinta Ar- 

Usia saya 22 tahun sejak 16 November tahun ini. Ada selip sedih dan kecamuk takut yang menghebat pada masa peralihan ini. Harus bagaimana? Akan jadi apa? Akan berbuat apa besok? Dan sebegitu seterus yang saya ingat. Merisaukan sejengkal jiwa kawula yang tidak lagi berstatus mahasiswa, untuk menikah rasanya terlalu muda dan apalagi hidup menghirup rona pandang sejuta tempat wisata..ah, rasanya ingin sekali, pergi kesana sini, tapi kemudian berbalik realistis, saya sudah bukan saatnya menjadi beban orang tua. Apakah saya bekerja? Saat ini, YA!! Tapi gaji bukan untuk cukup hidup hari ini saja kan? Sekalipun uang mudah hinggap, juga bukan kemudian jadi alasan untuk sembarang dilepaskan. 

Mimpi saya, saya ingin lanjut S2, mencari beasiswa. Diam. Sejenak terpaku lagi melihat status akreditasi tempat menimba ilmu saya dulu yang "belum seberapa". Masih sambil menanti keajaiban dan rasa yakin berburu beasiswa, saya berpikir lagi. Saya ingin lanjut S2, dengan uang menggelembung di tabungan saya.. baiklah.. regristasi awal dan 1-2 semester itu masih cukup.. lantas? Dan seterusnya dan seterusnya? Tahu tidak, sebenarnya saya juga masih belum tahu apa yang akan saya lakukan berikutnya dengan gelar S2. Yang pasti, saya ingin lanjut S2.

Saya menyukai pekerjaan saya dan segala keajaiban yang telah dihantarkan Allah didalamnya. Tapi hidup harus berlanjut. Saya perlu sesuatu yang lebih untuk mencapai jenjang S2 dengan biaya mandiri termasuk biaya hidup dan segala tetek bengeknya. Mama, Papa saya masih mampu, tapi saya yang lantas malu. Bekal S1 dan segenapnya cukup dan teramat berlebihan bagi saya. Hidup saya selanjutnya adalah biar hanya bergantung pada apa yang saya upayakan sendiri. 

Make A Wish