(1)
Kita berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Namun ternyata tanah
tidak hanya sekedar menjadi tempat asal dan kembali. Bagi sebagian besar
masyarakat Malo, tanah merupakan penyambung nyawa dan lahan untuk berkreasi.
Jembatan Malo Van Bojonegoro
Rabu, 18 Desember 2013.
Siang itu, setelah berbincang sekedar dan meluangkan waktu makan siang
dengan menu sate dan gule di warung Mbak Min bersama Bapak Dandy selaku camat
di Kecamatan Malo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, saya dan tim rombongan
#ExploringBojonegoro melanjutkan perjalanan hari pertama kami menuju rumah
salah satu pengerajin gerabah yang ada di kawasan setempat.
Bapak Safraun yang tidak lain merupakan pemilik rumah dan sekaligus
tengkulak kerajinan gerabah celengan, menyambut kedatangan kami dengan
antusias. Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk saling berbaur. Setelah
dipersilahkan masuk ke dalam rumah beliau yang notabene tampak penuh dengan jajaran
celengan warna warni dengan berbagai bentuk binatang, Pak Safraun lantas mulai
bercerita tentang awal mula usahanya sebagai tengkulak gerabah yang telah
dilakoninya sejak sekitar tahun 1980an. Dengan modal hutang seadanya dari
tetangga, Pak Safraun lantas menghimpun hasil kerajinan gerabah milik tetangga
sekitarnya yang kala itu belum memiliki wadah dan tempat pemasaran yang pas.
Hingga saat ini, kerajinan gerabah ala masyarakat Malo mampu memproduksi
sekitar 20 buah celengan beraneka bentuk per hari. Sedang dalam setiap kali
pengiriman, Pak Safraun mampu mengirim 80 buah celengan ukuran besar, 80 buah
celengan berukuran sedang dan 100 buah celengan berukuran kecil. Harga celengan
tersebut juga cukup variatif yaitu mulai harga Rp. 7.000,- hingga sekitar Rp.
75.000,- per buah. Untuk saat ini, pemasaran gerabah celengan ini masih
mencakup kawasan Ponorogo, Kudus, Semarang, Solo dan termasuk Bojonegoro kota.
Selama menjadi tengkulak, cuaca turut menjadi salah satu kendala yang
mempengaruhi jumlah produksi gerabah celengan. Tidak hanya itu, dari tempat
pembuatan asalnya, ternyata produksi gerabah celengan ini juga belum mampu
mencakup pasaran internasional atau bahkan setidaknya mencakup lingkup
nasional. Padahal menurut penuturan Bapak Dandy selaku camat di Kecamatan Malo,
dalam suatu jadwal kunjungannya ke Kota Malang, Jawa Timur, bahwa tanah yang
digunakan sebagai produksi gerabah di Malang, merupakan tanah yang di impor
dari Singapore dan ternyata jenis tanah tersebut begitu melimpah ruah di
Kecamatan Malo.
Jadi jika memang demikian, harusnya Kecamatan Malo bisa menjadi daerah yang
makmur dengan adanya kerajinan gerabah dari tanah yang berkualitas.
Melihat dari segi bentuk, menurut saya masyarakat Malo khususnya yang
berprofesi sebagai pengerajin gerabah, perlu untuk meningkatkan kreasi bentuk
gerabahnya sesuai dengan perkembangan zaman. Sehingga tidak melulu berpakem
dengan bentuk yang ada yaitu bentuk celengan macan, gajah, bebek, dan orang
utan. Tetapi mungkin bisa lebih dikreasi menjadi bentuk patung penari sandur,
perahu, atau bentuk-bentuk kartun terkini dengan variasi warna yang lebih
menarik.
Dengan demikian, diharapkan harga jual gerabah dapat turut meningkat dan
tentu selain itu, pemerintah juga diharapkan mampu memfasilitasi masyarakat dengan
terapan ilmu dagang online sehingga masyarakat Malo dapat lebih mampu
memasarkan kreasi gerabahnya melalui media online yang notabene mampu
menjangkau masyarakat luas dengan sekali "klik".
MALO Mendunia, Bojonegoro JUARA!! :)
MALO Mendunia, Bojonegoro JUARA!! :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar