“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. (Mama, 84)”
Saya mengenal sosok Pramoedya Ananta Toer dan
karyanya menginjak pertengahan 2012. Perkenalan itu akan selalu saya ingat
sebagai perkenalan yang mendekatkan saya dengan Sindikat Baca. Adalah
sosok Awe S.H yang berkontribusi atas itu dengan menggiring saya untuk mencoba
mencicipi novel Pram dalam tetralogi Buru-nya. Tidak saya pungkiri, Bumi
Manusia adalah novel yang begitu membius dan menarik untuk segera dikhatamkan. Tapi
entah mengapa kemudian saya terseok diperjalanan Jejak Langkah dan berhenti
tanpa pernah mencoba menuntaskannya. Hal ini secara otomatis berdampak pada tidak sempatnya saya mengenal tetralogi terakhirnya, ”Rumah Kaca”.
Permainan alur, penempatan tokoh dan tragedi yang
ditawarkan Pram pada Bumi Manusia begitu teratur namun kemudian terasa mulai
melambat ketika Pram berbicara tentang perjalanan Sidoarjo yang terkesan melelahkan di Anak Semua Bangsa. Pudarnya peran Nyai Ontosoroh di Jejak Langkah
sedikit banyak mempengaruhi cita rasa selera baca saya, karena jujur, saya jatuh cinta pada tokoh ini dan malah bukan pada Minke. Ontosoroh dimata saya
sangat mengagumkan. Gambaran perwatakan Ontosoroh yang kuat, tegas dan bersahaja adalah kolaborasi yang memukau. Sungguh bertolak
belakangan dengan sosok Minke yang terkesan labil dan mungkin hal ini memang dipengaruhi penggambaran Pram akan setting usia pada setiap tokohnya. Entahlah.
Saya meninggalkan Jejak Langkah ketika tragedi
baru menghampiri kehidupan Minke dan istri keduanya beserta kilasan sejarah
yang rumit. Untuk ukuran saya saat itu, cerita sejarah adalah
cerita pelik yang cukup berat untuk dituntaskan. Pola pikir Minke yang acak,
hak asuh anak, cinta Ann, kematian tragis Robbert Mellena, adalah tema yang
lebih menarik dan mudah saya cerna dibanding fakta-fakta sejarah. Bukan karena saya tidak menghargai
pun tidak ingin tahu soal sejarah, tetapi membayangkan hidup pada masa yang
saya belum pernah hidup dan perang dan organisasi-organisasi dan segala yang
bersebrangan pada pola hidup kekinian bukanlah perkara yang mudah. Saya harus
belajar dari awal, mengenal dari awal, menelusuri dari awal dan saya sungguh
sangat ketinggalan zaman untuk itu. Semoga lain waktu saya berkesampatan untuk mengejar apa yang tertinggal. Sejarah.
Pram bercerita dengan gaya realis seriusnya dan hal tersebut cukup membuat tegang pikiran pembaca seperti saya. Cara berkisah Pram memang tidak seperti Eka Kurniawan dalam karya Cantik
Itu Luka-nya yang lebih mudah saya terima dengan bahasa gamblang kekinian dan
serta susunan tragedi yang tidak begitu rumit. Bagaimanapun, sejarah akan menemukan penikmatnya
sendiri. Cerita roman akan menemukan celahnya sendiri. Kita tidak bisa memaksa
apapun termasuk keharusan seseorang menyukai apa yang banyak orang sukai. Seperti
saya yang berhenti menJejak Langkah, seperti saya menuntaskan Cinta Itu Luka,
seperti kebanyakan yang kemudian membisikkan pertanda bahwa Bumi Manusia lebih menggoda iman dan lebih tenar dibanding ketiga adik-adik Burunya. Ya, seperti itulah. Seperti kemudian budi abdi Tohir terhadap dunia
sastra dan kegilaannya pada buku lebih harum tercium bahkan lebih dari
pikiran opinius Awe dalam Sindikat Baca. Semua berporsi. Semua penting dan
semua adalah tokoh. Salam Sastra,
Salam Baca!.