Sabtu, 07 Februari 2015

Ananta Toer hingga Ananda Toehir


“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. (Mama, 84)” 


Saya mengenal sosok Pramoedya Ananta Toer dan karyanya menginjak pertengahan 2012. Perkenalan itu akan selalu saya ingat sebagai perkenalan yang mendekatkan saya dengan Sindikat Baca. Adalah sosok Awe S.H yang berkontribusi atas itu dengan menggiring saya untuk mencoba mencicipi novel Pram dalam tetralogi Buru-nya. Tidak saya pungkiri, Bumi Manusia adalah novel yang begitu membius dan menarik untuk segera dikhatamkan. Tapi entah mengapa kemudian saya terseok diperjalanan Jejak Langkah dan berhenti tanpa pernah mencoba menuntaskannya. Hal ini secara otomatis berdampak pada tidak sempatnya saya mengenal tetralogi terakhirnya, ”Rumah Kaca”.

Permainan alur, penempatan tokoh dan tragedi yang ditawarkan Pram pada Bumi Manusia begitu teratur namun kemudian terasa mulai melambat ketika Pram berbicara tentang perjalanan Sidoarjo yang terkesan melelahkan di Anak Semua Bangsa. Pudarnya peran Nyai Ontosoroh di Jejak Langkah sedikit banyak mempengaruhi cita rasa selera baca saya, karena jujur, saya jatuh cinta pada tokoh ini dan malah bukan pada Minke. Ontosoroh dimata saya sangat mengagumkan. Gambaran perwatakan Ontosoroh yang kuat, tegas dan bersahaja adalah kolaborasi yang memukau. Sungguh bertolak belakangan dengan sosok Minke yang terkesan labil dan mungkin hal ini memang dipengaruhi penggambaran Pram akan setting usia pada setiap tokohnya. Entahlah.

Saya meninggalkan Jejak Langkah ketika tragedi baru menghampiri kehidupan Minke dan istri keduanya beserta kilasan sejarah yang rumit. Untuk ukuran saya saat itu, cerita sejarah adalah cerita pelik yang cukup berat untuk dituntaskan. Pola pikir Minke yang acak, hak asuh anak, cinta Ann, kematian tragis Robbert Mellena, adalah tema yang lebih menarik dan mudah saya cerna dibanding fakta-fakta sejarah. Bukan karena saya tidak menghargai pun tidak ingin tahu soal sejarah, tetapi membayangkan hidup pada masa yang saya belum pernah hidup dan perang dan organisasi-organisasi dan segala yang bersebrangan pada pola hidup kekinian bukanlah perkara yang mudah. Saya harus belajar dari awal, mengenal dari awal, menelusuri dari awal dan saya sungguh sangat ketinggalan zaman untuk itu. Semoga lain waktu saya berkesampatan untuk mengejar apa yang tertinggal. Sejarah.

Pram bercerita dengan gaya realis seriusnya dan hal tersebut cukup membuat tegang pikiran pembaca seperti saya. Cara berkisah Pram memang tidak seperti Eka Kurniawan dalam karya Cantik Itu Luka-nya yang lebih mudah saya terima dengan bahasa gamblang kekinian dan serta susunan tragedi yang tidak begitu rumit. Bagaimanapun, sejarah akan menemukan penikmatnya sendiri. Cerita roman akan menemukan celahnya sendiri. Kita tidak bisa memaksa apapun termasuk keharusan seseorang menyukai apa yang banyak orang sukai. Seperti saya yang berhenti menJejak Langkah, seperti saya menuntaskan Cinta Itu Luka, seperti kebanyakan yang kemudian membisikkan pertanda bahwa Bumi Manusia lebih  menggoda iman dan lebih tenar dibanding ketiga adik-adik Burunya. Ya, seperti itulah. Seperti kemudian budi abdi Tohir terhadap dunia sastra dan kegilaannya pada buku lebih harum tercium bahkan lebih dari pikiran opinius Awe dalam Sindikat Baca. Semua berporsi. Semua penting dan semua adalah tokoh. Salam Sastra, Salam Baca!. 

Rabu, 04 Februari 2015

SEMOGA IA LEKAS LELAH


Belakangan ini perempuan itu terlihat begitu sibuk merayakan hari berkabungnya. Ia tidak ditinggal mati oleh seorangpun kecuali cinta. Patah hati mendadak jadi teror hidup yang mengubah segala rona pipinya menjadi keriput kusut yang tersemat di kantung-kantung matanya. Kadang ia tampak duduk sendiri, berbicara pada riak air sungai yang dulu sering menjadi latar pembicaraannya bersama seorang lelaki yang ia cinta. Perempuan itu berbicara segala rasa, mendendangkan percik air lagu-lagu nostalgia cinta yang jika didengar, dinyanyikan dengan segenap rasa. Sang air hanya membalas dengan suara riuh alir buih dan memang hanya itu satu-satunya yang dapat ia sampaikan untuk mencipta komunikasi diantara keduanya. Mungkin sejak itu, perempuan itu mengambil paham tentang teori mendengar, bahwa ketenangan bisa saja tercipta hanya jika ia bersedia mendengar seperti yang sedang ia lakukan, mendengar suara air.

Perempuan itu tidak habis pikir dengan kegilaan orang-orang jatuh cinta tapi kemudian patah hati. Jika dalam kematian tidak ada lagi pertemuan hingga kenangan bisa turut tidur lelap di dalam makam, maka patah hati lebih mengenaskan. Seseorang bisa mendadak menjadi mayat hidup hanya karena masalah ini. Masalah yang mencuat ketika usaha menata hati hampir selesai dalam bentuk jadi, kemudian luluh lantak porak poranda oleh sekelumit kata ”apa kabar?”, emotion dalam pesan singkat dan atau tanpa sengaja berpapas temu bahkan jika saling melempar senyum. Sungguh sial(an)!.

Perempuan itu, seperti biasa, sibuk dengan bacaan apapun yang bisa ia baca dan dengan segala jenis kesibukan apapun yang bisa ia kerjakan asal tidak diam. Diam adalah ketakutannya yang lain yang bisa membawanya jauh pada rasa sedih. Trauma hujan seakan menjadi kesulitan lain dalam luka hatinya yang tidak bisa ia kubur kecuali bersama tubuhnya jika ia mati kelak. Sedang ia hidup dalam jiwa sakit yang sulit sembuh secepat betadine mengeringkan luka-luka luar bahkan bonyok sekalipun. Rasa ingin tahu rupanya menjadi masalah lain, ia tidak bisa lepas begitu saja tanpa kabar, tidak peduli seberapa buruk kabar itu kelak meratakan hatinya.

”Apa mereka berboncengan?”
”Tidak, mereka datang dengan cara mereka masing-masing.”
”Tapi mereka bertemu, dan aku tidak suka mereka ada dalam satu pertemuan.”
”Tapi mereka berteman, wajar saja jika mereka mengadakan pertemuan.”
”Mereka bisa merajut cinta jika terus terlibat.”
”Kekhawatiranmu berlebihan, nona.”
”Dia seharusnya bersamaku.”
”Kau harus menjadi Tuhan untuk itu.”
”Do’akan aku, tuan.”
”Untuk?”
”Semoga aku lekas lelah.. dan menyerah.”
”Semoga.”

Perempuan itu terjaga, hampir setiap hari, di jam-jam lewat tengah malam. Sekali waktu ia melewatkannya dengan berdo’a, tapi lebih sering ia hanya berbaring dengan mata tetap terjaga dan pikiran yang melayang dan isak tangis yang entah untuk apa. Hatinya lelah, tapi belum juga mau menyerah. Ia tahu sikap menyedihkannya ini tidak akan menolong dirinya kecuali semakin memperburuk keadaan tapi bahkan ia terlampau pasrah untuk melawan nasib dengan kepura-puraan rona bahagia sekalipun ia pandai menipu.

Ia berusaha untuk menghindar, bangkit dan melawan tapi kemudian ia menyadari jika menikmati rasa berkabung dalam patah hati adalah satu-satunya cara yang ia bisa lakukan. Ia mulai merekayasa rumus baru dan mempercayai jika semakin ia patah hati sambil terus menikmati rasa patah hatinya, ia akan semakin cepat lelah dan menyerah. Kekeras kepalaan telah menyumpal pangkal otaknya. Ia akan terus jatuh cinta dan patah hati sekaligus. Hingga ia lelah. Ia menyebar pamflet dengan beribu pengumuman bahwa ia patah hati. Ia akan menunggu tawa, hina dan ejek beribu umat agar ia semakin menyedihkan, berharap kesemuanya lantas menjadi katalis untuk mendapatkan rasa lelahnya. Tanpa ia pernah tahu sedikitpun, bahwa usahanya juga telah berhasil mengusik ribuan malaikat untuk turut berdo'a..

”Semoga ia lekas lelah, dan menyerah, dan berbahagia.”

Aku Hanya Ingin Terus Berjalan

Ketika perjalanan adalah tetap dalam sarat "mencari". It doesn't matter where ever you are, the only important thing is "you have new journey". Sekalipun tedampar di bus kusam dengan bau asap rokok mengepul di sana-sini. Sekalipun hujan tidak menghias perjalananmu naik gunung, Atau sekalipun kau hanya duduk lusuh menikmat bakso di sebuah pasar asing. Tidak perlu tempat yang indah.. perjalanan adalah tetap berjalan tanpa tendensi apapun.. ‪#‎NextTrip‬ ‪#‎PartOfLife‬ ^^