Belakangan ini
perempuan itu terlihat begitu sibuk merayakan hari berkabungnya. Ia tidak
ditinggal mati oleh seorangpun kecuali cinta. Patah hati mendadak jadi teror hidup
yang mengubah segala rona pipinya menjadi keriput kusut yang tersemat di
kantung-kantung matanya. Kadang ia tampak duduk sendiri, berbicara pada riak
air sungai yang dulu sering menjadi latar pembicaraannya bersama seorang lelaki
yang ia cinta. Perempuan itu berbicara segala rasa, mendendangkan
percik air lagu-lagu nostalgia cinta yang jika didengar, dinyanyikan
dengan segenap rasa. Sang air hanya membalas dengan suara riuh alir buih dan
memang hanya itu satu-satunya yang dapat ia sampaikan untuk mencipta komunikasi
diantara keduanya. Mungkin sejak itu, perempuan itu mengambil paham tentang
teori mendengar, bahwa ketenangan bisa saja tercipta hanya jika ia bersedia
mendengar seperti yang sedang ia lakukan, mendengar suara air.
Perempuan itu
tidak habis pikir dengan kegilaan orang-orang jatuh cinta tapi kemudian patah
hati. Jika dalam kematian tidak ada
lagi pertemuan hingga kenangan bisa turut tidur lelap di dalam makam, maka
patah hati lebih mengenaskan. Seseorang bisa mendadak menjadi mayat hidup hanya
karena masalah ini. Masalah yang mencuat ketika usaha menata hati
hampir selesai dalam bentuk jadi, kemudian luluh lantak porak poranda oleh sekelumit kata ”apa kabar?”, emotion dalam pesan singkat dan atau tanpa sengaja
berpapas temu bahkan jika saling melempar senyum. Sungguh sial(an)!.
Perempuan itu, seperti biasa, sibuk dengan bacaan
apapun yang bisa ia baca dan dengan segala jenis kesibukan apapun yang bisa ia
kerjakan asal tidak diam. Diam adalah ketakutannya yang lain yang bisa
membawanya jauh pada rasa sedih. Trauma hujan seakan menjadi kesulitan lain
dalam luka hatinya yang tidak bisa ia kubur kecuali bersama tubuhnya jika ia
mati kelak. Sedang ia hidup dalam jiwa sakit yang sulit sembuh secepat betadine
mengeringkan luka-luka luar bahkan bonyok sekalipun. Rasa ingin tahu rupanya
menjadi masalah lain, ia tidak bisa lepas begitu saja tanpa kabar, tidak peduli
seberapa buruk kabar itu kelak meratakan hatinya.
”Apa mereka berboncengan?”
”Tidak, mereka datang dengan cara mereka
masing-masing.”
”Tapi mereka bertemu, dan aku tidak suka mereka
ada dalam satu pertemuan.”
”Tapi mereka berteman, wajar saja jika mereka
mengadakan pertemuan.”
”Mereka bisa merajut cinta jika terus terlibat.”
”Kekhawatiranmu berlebihan, nona.”
”Dia seharusnya bersamaku.”
”Kau harus menjadi Tuhan untuk itu.”
”Do’akan aku, tuan.”
”Untuk?”
”Semoga aku lekas lelah.. dan menyerah.”
”Semoga.”
Perempuan itu terjaga, hampir setiap hari, di
jam-jam lewat tengah malam. Sekali waktu ia melewatkannya dengan berdo’a, tapi
lebih sering ia hanya berbaring dengan mata tetap terjaga dan pikiran yang
melayang dan isak tangis yang entah untuk apa. Hatinya lelah, tapi belum juga
mau menyerah. Ia tahu sikap menyedihkannya ini tidak akan menolong dirinya
kecuali semakin memperburuk keadaan tapi bahkan ia terlampau pasrah untuk
melawan nasib dengan kepura-puraan rona bahagia sekalipun ia pandai menipu.
Ia berusaha untuk menghindar, bangkit dan melawan
tapi kemudian ia menyadari jika menikmati rasa berkabung dalam patah hati
adalah satu-satunya cara yang ia bisa lakukan. Ia mulai merekayasa rumus baru
dan mempercayai jika semakin ia patah hati sambil terus menikmati rasa patah hatinya, ia
akan semakin cepat lelah dan menyerah. Kekeras kepalaan telah menyumpal pangkal otaknya. Ia akan terus jatuh cinta
dan patah hati sekaligus. Hingga ia lelah. Ia menyebar pamflet dengan beribu pengumuman
bahwa ia patah hati. Ia akan menunggu tawa, hina dan ejek beribu umat agar ia
semakin menyedihkan, berharap kesemuanya lantas menjadi katalis untuk mendapatkan rasa
lelahnya. Tanpa ia pernah tahu sedikitpun, bahwa usahanya juga telah berhasil mengusik ribuan malaikat untuk turut berdo'a..
”Semoga ia lekas lelah, dan menyerah, dan
berbahagia.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar