Rabu, 04 Februari 2015

SEMOGA IA LEKAS LELAH


Belakangan ini perempuan itu terlihat begitu sibuk merayakan hari berkabungnya. Ia tidak ditinggal mati oleh seorangpun kecuali cinta. Patah hati mendadak jadi teror hidup yang mengubah segala rona pipinya menjadi keriput kusut yang tersemat di kantung-kantung matanya. Kadang ia tampak duduk sendiri, berbicara pada riak air sungai yang dulu sering menjadi latar pembicaraannya bersama seorang lelaki yang ia cinta. Perempuan itu berbicara segala rasa, mendendangkan percik air lagu-lagu nostalgia cinta yang jika didengar, dinyanyikan dengan segenap rasa. Sang air hanya membalas dengan suara riuh alir buih dan memang hanya itu satu-satunya yang dapat ia sampaikan untuk mencipta komunikasi diantara keduanya. Mungkin sejak itu, perempuan itu mengambil paham tentang teori mendengar, bahwa ketenangan bisa saja tercipta hanya jika ia bersedia mendengar seperti yang sedang ia lakukan, mendengar suara air.

Perempuan itu tidak habis pikir dengan kegilaan orang-orang jatuh cinta tapi kemudian patah hati. Jika dalam kematian tidak ada lagi pertemuan hingga kenangan bisa turut tidur lelap di dalam makam, maka patah hati lebih mengenaskan. Seseorang bisa mendadak menjadi mayat hidup hanya karena masalah ini. Masalah yang mencuat ketika usaha menata hati hampir selesai dalam bentuk jadi, kemudian luluh lantak porak poranda oleh sekelumit kata ”apa kabar?”, emotion dalam pesan singkat dan atau tanpa sengaja berpapas temu bahkan jika saling melempar senyum. Sungguh sial(an)!.

Perempuan itu, seperti biasa, sibuk dengan bacaan apapun yang bisa ia baca dan dengan segala jenis kesibukan apapun yang bisa ia kerjakan asal tidak diam. Diam adalah ketakutannya yang lain yang bisa membawanya jauh pada rasa sedih. Trauma hujan seakan menjadi kesulitan lain dalam luka hatinya yang tidak bisa ia kubur kecuali bersama tubuhnya jika ia mati kelak. Sedang ia hidup dalam jiwa sakit yang sulit sembuh secepat betadine mengeringkan luka-luka luar bahkan bonyok sekalipun. Rasa ingin tahu rupanya menjadi masalah lain, ia tidak bisa lepas begitu saja tanpa kabar, tidak peduli seberapa buruk kabar itu kelak meratakan hatinya.

”Apa mereka berboncengan?”
”Tidak, mereka datang dengan cara mereka masing-masing.”
”Tapi mereka bertemu, dan aku tidak suka mereka ada dalam satu pertemuan.”
”Tapi mereka berteman, wajar saja jika mereka mengadakan pertemuan.”
”Mereka bisa merajut cinta jika terus terlibat.”
”Kekhawatiranmu berlebihan, nona.”
”Dia seharusnya bersamaku.”
”Kau harus menjadi Tuhan untuk itu.”
”Do’akan aku, tuan.”
”Untuk?”
”Semoga aku lekas lelah.. dan menyerah.”
”Semoga.”

Perempuan itu terjaga, hampir setiap hari, di jam-jam lewat tengah malam. Sekali waktu ia melewatkannya dengan berdo’a, tapi lebih sering ia hanya berbaring dengan mata tetap terjaga dan pikiran yang melayang dan isak tangis yang entah untuk apa. Hatinya lelah, tapi belum juga mau menyerah. Ia tahu sikap menyedihkannya ini tidak akan menolong dirinya kecuali semakin memperburuk keadaan tapi bahkan ia terlampau pasrah untuk melawan nasib dengan kepura-puraan rona bahagia sekalipun ia pandai menipu.

Ia berusaha untuk menghindar, bangkit dan melawan tapi kemudian ia menyadari jika menikmati rasa berkabung dalam patah hati adalah satu-satunya cara yang ia bisa lakukan. Ia mulai merekayasa rumus baru dan mempercayai jika semakin ia patah hati sambil terus menikmati rasa patah hatinya, ia akan semakin cepat lelah dan menyerah. Kekeras kepalaan telah menyumpal pangkal otaknya. Ia akan terus jatuh cinta dan patah hati sekaligus. Hingga ia lelah. Ia menyebar pamflet dengan beribu pengumuman bahwa ia patah hati. Ia akan menunggu tawa, hina dan ejek beribu umat agar ia semakin menyedihkan, berharap kesemuanya lantas menjadi katalis untuk mendapatkan rasa lelahnya. Tanpa ia pernah tahu sedikitpun, bahwa usahanya juga telah berhasil mengusik ribuan malaikat untuk turut berdo'a..

”Semoga ia lekas lelah, dan menyerah, dan berbahagia.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar