Jumat, 30 Mei 2014

FRIDAY/ (am) I in Love?//

..I don't care if Monday's black
Tuesday, Wednesday heart attack
Thursday never looking back
It's Friday I'm in love..

(The Cure - Friday I'm in Love) 


This is Friday!
The problem now..
Am i in love? 
I'm not sure :D 

Sepanjang hari ini..
Saya sibuk mempertanyakan berbagai hal.
Mentaksir seberapa jauh saya bermanfaat bagi sesama,
atau bahkan sebaliknya.. "Merepotkan!"
Hasilnya, barang tentu;
-Saya ternyata masih jauh dari kata BERMANFAAT- 

Tapi sepertinya hari ini saya kembali belajar.
Belajar untuk harus lebih bersifat ramah dan baik hati.
Seperti kakak CS cantik yang saya temui di bank tadi..
Menunggu terlalu lama untuk urusan yang sebenarnya bisa kelar hanya dalam hitungan 5 menit itu ternyata membosankan.
Bahkan lebih parahnya, bisa membuat frustasi jika tidak meledak!
Tapi kakak cantik yang entah siapa namanya tadi, merubah segalanya..

Memberi pelayanan dengan ramah dan basa-basi simpel yang renyah, ternyata bisa membuat saya melupakan hampir 2 jam yang menjemukan.
Kuncinya adalah "hadapi dengan wajah yang cerah, kau tentu akan banyak membuat orang lain yang marah berubah jadi sumringah."
Lain kali saya akan mempraktikan triknya.
Lain kali saya harus jadi dan bersikap lebih baik lagi.
Sebisa mungkin tidak tampak muram agar sekitar saya juga tidak jadi kusam.
Ah, sederhananya hidup...

So? 
Friday, am i in love?
Yep, this Friday, i learn too much to love (each other)!
You?



Membaca "Hati"

Sepertinya kau perlu belajar banyak tentang ilmu membaca hati/
Atau sekali lagi tipuanmu mati-matian membuatmu merasa tidak perlu sadar arti?/
Mungkin kau paham yang kau buat enggan//
Tapi mungkin jika kau belum tahu/ 
Biar ku beritahu kau/
Bahwa ia menyukaimu//

Pada sela mimpi/ malam/ kesempatan/ dan perasaan/
Parasnya yang aku belum tahu seperti apa/ 
Tapi demi apapun aku tahu seperti apa hatinya//
Dia menyukaimu!//

Kira-kira kalau dia benar menyukaimu/
Bagaimana perasaanmu? atau apa peduliku?//
Oh, sungguh/
Aku hanya ingin memberitahu/ 
Ia menyukaimu//

Caranya meminta/
Meminta pedulimu/ jika kau tahu//
Caranya memerhati/
Memperhatikanmu/ jika kau tahu//
Aku tahu dia menyukaimu//

Tapi nanti bila kau telah mau tahu/
Bisakah kiranya kau beritahu aku?/
Perlukah aku cemburu?/
Karena aku ternyata..//
Juga menyukaimu!//


Selasa, 27 Mei 2014

HuJanuari 5 di Awal



(/1)
Hari Sibuk!
Menemui lelakiku diujung ufuk adalah hal yang paling membuat aku bersemangat. Jadi, aku sudah tidak sabar. Kupejamkan mata cepat-cepat agar aku dapat membayangkan senyumnya, sabarnya, caranya mengalah dan sikap isengnya yang *ampun!. Aku ingin lekas esok, berkawan senja, menapak gerimis, menjuntai malam dan KENCAN!

(/2)
Memangnya Cukup?
Dalam rentang usianya yang tepat enam tahun, satu bulan, delapan hari lebih awal dariku. Aku tidak yakin dia akan ingat walau harusnya ingat. Termasuk mengingat salah satu hari terpenting dalam awal sejarah kami. Pertemuan.

”Daging sapi, anyaman-nyaman dan apa ya.. oh, tentu saja gitarmu,” kataku setengah berpikir.
”Apa itu?” tanyanya heran. Jelas heran karena memang kami baru saja disekap bisu lima menit yang membeku.
”Itu takdir.”

Kugigit bibir bawahku, takut salah ucap. Nyatanya memang kudapati ia diam saja. Hanya mengangguk sambil memainkan tangan kananku yang sedari tadi sibuk diayun. Perhatiannya lantas terusik untuk menyamakan langkah kami yang mulai tidak seragam.

”Ini sudah lebih dari cukup.” Entah untuk yang keberapa kalinya, aku kembali tidak suka mendengar kalimat itu. Diam-diam kupunguti serpihan puzzle hatiku yang baru saja remuk. Kususun kembali bersama hening sambil menahan sesuatu dibalik sekat mata yang meski sudah berkantung, rasanya tetap saja ingin tumpah. Seharusnya, begini saja memang sudah cukup.

(/3)
Kopi (tanpa) Elegi
Hari ini luar biasa. Kubiarkan semua berjalan diluar dari biasa. Perjalanan panjang memburu senja baru saja usai. Aura jingga mengepul diantara padu padan cahaya kamera yang menyisakan bayangan siluet. Bayangan itu, bayangan kami. Bayangan yang sepertinya membuat lalu lalang iri.

Melepas penat. Kuubah menu racikan kopi pesanannya dengan setengah sendok teh gula lebih banyak dari biasa. Semoga tidak jadi masalah. Pikirku.

”Rasanya lebih manis, tapi tetap enak,” katanya sambil menyesap sisa kopi yang kusuguhkan.
”Suatu saat, kamu pasti akan merindukan kopi buatanku,” jawabku asal.
”Sepertinya begitu.”
”Harus begitu,” paksaku.
”Hahaha.. dasar.” Kali ini jawabannya diiringi gerakan tangan yang langsung mengarah ke kepalaku. Mengacak-acak tatanan rambut panjang asimetrisku.

(/4)
Pantai Lepas/ Lepas Pantai?
..Rasa tak sanggup kau kulepas. Jangan satukan hidupmu dengan hidupku. Aku memang tidak bisa lama bersama.. (Pemberian tahu-Chairil Anwar).

Sajak itu terus berdansa lembut. Memberi stimulus aneka rasa di otakku. Sajak yang kemudian ia akhiri dengan kalimat,

”Seandainya hidup itu sendiri-sendiri, sama sekali tidak terkait dengan orang lain, aku senang-senang saja menyukai dan berhubungan denganmu terus.” Aku rasai ucapannya seolah baru saja menggulung bersama deburan ombak yang dipecah karang, begitu lepas.
”Sayangnya hidup tidak semudah itu ya? Tidak apa-apa. Dari awal kan kita juga sudah sepakat bahwa bagaimanapun, tidak akan merubah apapun. Cuma menggeser.”
”Iya, memang tidak akan merubah apapun. Oleh karenanya aku merasa berkewajiban untuk menjagamu. Karena dari awal, mengakui perasaan inipun sebenarnya sudah merusak.” Dia menghela nafas dan kembali bergumam,
”Maaf, untuk telah begitu egois dan membiarkan ini semua jadi berlarut.”

Belum sempat aku menjawab, ia telah lebih dulu menarik lenganku, mengajak untuk beranjak. Aku menurut saja. Lagipula setapak yang banyak berhasil membuat jantungku kembali kuat. Tidak sesesak tadi saat mendengar ia berucap. Aku tidak ingin mengingat apapun tentang malam ini. Kecuali tentang bianglala yang tidak berputar, puncak kapal batu yang begitu kekar dan lidah api yang tak henti berpijar.

”Percayalah, akan selalu ada hal ajaib jika denganku.” Dan memang waktu seketika berhenti berputar.

(/5)
Biasa yang Tak Biasa
Suatu ketika, ia sakit. Aku ingat betul malam itu. Malam dimana kami biasa berkencan disebuah taman. Malam yang tidak biasa. Genggamannya terasa lebih panas dari biasa. Tatapannya tampak sayu luar biasa dan oh, tentu saja keningnya yang bertemperatur lebih maksimal dari biasa. Malam itu, kami putuskan untuk pulang lebih awal dari biasa.

Pagi menangis. Gerimis turun tiada habis. Kubangunkan ia perlahan dan lekas memintanya sarapan. Semua sudah siap. Ia hanya tinggal lahap. Air mineral, obat pabrik rasa pahit dan selusin roti gandum yang sengaja kupilihkan berasa coklat. Rasa kesukaanku (yang mungkin bukan jadi kesukaannya).

”Bajumu basah, kamu habis hujan-hujan?” tanyanya.
”Cuma gerimis,” aku meringis sambil menahan sensasi gigil baju kuyupku.
”Enak?” tanyaku saat ia baru saja menyelesaikan eksekusi roti pertamanya.
”Rasanya pahit. Kepalaku masih pusing,” keluhnya. Aku bergegas memeriksa lagi suhu badannya. Benar saja, masih panas.
”Makanya jangan hobi begadang. Setelah ini, lekas sikat gigi, minum obat dan istirahat.”
”Iya. Dasar rewel,” gerutunya. Aku mendengus sebal. Sebaliknya, ia tertawa dan tampak susah payah berusaha kabur terhuyung menuju kamar mandi. Sekembalinya, ia lantas menuruti skemaku. Minum obat dan akan kembali beranjak tidur.
”Cepat sembuh ya. Sakitnya jangan lama-lama,” ucapku. Ia tidak menjawab karena mungkin terlalu sibuk dengan lemah fisik yang mendera. Namun saat aku berjingkat hendak pergi, dalam posisi tubuh terbaring, ia mendadak meraih tanganku dan berucap,
”Aku mual, rasanya ingin muntah.” Setelah itu matanya kembali terpejam. Ia tidak memintaku untuk tidak pergi, tapi genggaman tangannya cukup membuatku sadar diri (atau mendadak merasa GR!). Dasar manja. Namun, kuturuti saja triknya. Aku kembali duduk ditepi ranjangnya, menemani, mengamati, sedikit berisik dalam senandung, hingga mendapatinya benar-benar terlelap.

(/6)
Have You Ever Needed Someone So Bad?
Lagi-lagi gerimis. Namun rasanya sadis. Aku baru saja merasa teramat takut kehilangan ingatanku. Aku linglung. Semuanya berpendar. Ramai. Aku terasing dalam salah. Aku ingin menangis. Aku hanya ingat, mendadak ia datang, padahal aku belum sempat menghubungi siapapun, padahal kemungkinan besar bisa saja kenalan lain yang datang. Aku tidak tahu mengapa harus bertepatan dengan ia yang datang. Oh Tuhan, terimakasih ia datang.

Aku tidak tahu apakah aku memeluknya ataukah aku sempat menangis atau bagaimana. Setahuku, saat aku sadar, tahu-tahu serangan sensasi perih menjalar diseluruh tubuh, tangan dan kakiku. Aku susah gerak.
Rupanya ia telah membopongku menuju kamar mandi, membersihkan lukaku. Aroma anyir darah menyeruak di segala sudut kamar mandi. Aliran darah bercampur pasir menyatu berlalu begitu saja dengan air, meninggalkan lukaku.

”Lekas ganti baju! Bajumu sobek,” katanya sambil menyodorkan baju ganti.
”Hah?” sambil meringis menahan sakit kuikuti gerakan matanya. Benar saja, bajuku sobek dibagian siku dan lutut.  Dengan sisa sadar, kuraih baju gantiku, menyuruhnya menunggu diluar dan segera kuganti bajuku.

Setelahnya, ia kembali membopongku menuju kamar tidur dan berjaga ditepi ranjang sambil menyematkan telapak tangannya ke tanganku. Kami bercerita panjang lebar tentang apa saja yang baru terjadi. Namun tidak lama kemudian, rasa lelah itu datang, membuatku mendadak tidak mau tahu terhadap apapun. Aku terlelap dalam sakit fisik yang sangat.

(/7)
Penipu
Hari penipuan itu tiba. Ia pergi. Sekalipun aku tahu ia tidak benar-benar pergi.  Tapi kepergiannya kali ini membuatku mendadak tidak punya keberanian berbicara seperti biasa, meminta seperti biasa dan memaksa seperti biasa. Aku hanya masih punya rasa rindu yang beraninya luar biasa. Jadi yang kulakukan kemudian adalah mati-matian memendam rindu dan sebisa mungkin berusaha menipu diri agar tampak kuat, tegar dan itu mustahil.

”Aku kok kangen kamu ya? Dan itu sungguh menyebalkan,” sapanya suatu ketika lewat media pesan singkat.
”Terimakasih. Aku juga. Semoga bisa ketemu. Kapan-kapan. Entah kapan.” Aku berbohong. Demi apapun, yang sebenarnya ingin kutulis adalah -Aku kangen kamu, kangen banget. Aku ingin kamu disini. Sekarang!-
”Iya. Tapi aku tidak berharap banyak. Entah kita akan bertemu atau tidak, entahlah.”
”Sama. Aku juga sudah hopeless. Sudah sejak jauh hari, aku tidak ingin mengatur waktu, juga tidak ingin memaksa. Aku pasrah.” -Atau lebih tepatnya aku masih berharap terlalu banyak-
”Sadar kalau hidup itu terus berjalan.”
”Pun aku sadar jika ini semua tidak baik. Untukku. Untuk siapapun.” -Tapi bisakah jangan pergi? Aku masih ingin bersamamu lebih lama lagi. Entah sampai kapan-
”Aku tidak ingin memberatkan langkahmu. Memberatkan langkah orang yang tidak bisa kuajak untuk terus sejalan. Tidak baik. Walau sebenarnya senang.”
”Iya. Gpp. Aku ngerti. Jaga diri ya. Jangan lupa makan, istirahat yang cukup, lekas tidur, besok kan mesti berangkat kerja.” Aku mulai terisak. Biar saja. Lagipula ia tidak akan tahu.
”Dasar. Orang kok hobi banget ngatur,” balasnya. Bayangan wajah gemasnya sesaat melintas, membuat tangisku semakin menjadi. Tangis yang bercampur tawa, rindu dan sebal sekaligus.
”Hahaha, kalau bukan aku, siapa lagi yang akan mengingatkanmu?”
”Ibuku.”

(/8)
SKETSA
Bayangan itu berkelabat cepat. Silih berganti. Dengungan suara, percikan sketsa, gambarmu, gambarku, sorot mata itu, anak tangga, ice cream, hujan, jembatan di perbatasan hutan, coklat, kopi, 22 Januari, tepi sungai, senja, bunga, nyanyian, pesan pengantar tidur, sebuah novel, dan lain sebagainya. Bayangan itu terdiri dari bayanganku dan lelakiku. Lelaki yang menyambut kepulanganku di pintu depan tempat kerja. Lelaki yang membisikkan kalimat Aku sayang kamu! Sayang!.  Lelaki yang bersamanya aku bisa bebas menggurui, menghardik, mendidik sekaligus bersembunyi dalam pelik. Lelaki tempatku menangis, tertawa, bermanja, merasa senang dan tenang. Lelaki cermin yang dalam sudut jiwanya kutemui jiwaku. Jiwa-jiwa puitis, harmonis dan pecinta musik manis. Akhirnya waktuku habis.

Aku tersentak dalam tangis. Seluruh ragu mendadak datang menyerbu. Apakah aku pernah benar-benar disayang? Setidaknya dengan tulus tanpa perlu lebih dulu aku merajuk malang. Seingatku, selama ini kiranya aku terlalu manja, memaksa segalanya berjalan seperti yang kuminta tanpa mungkin sempat mendengar maumu. Jengahkah kamu?

Aku mungkin pernah dimengerti, disayangi dan aku hanya membautmu semakin tidak punya hati, habis akal, lelah. Aku yang salah, jika sudah mengerti, harusnya aku sadar diri. Aku ini apa dan siapa aku ini?. Suatu ketika pada kalimat ”selamat malam, malam” aku tercengang begitu lama. Aku adalah yang terjaga namun tak pernah bisa menjaga (diriku sendiri) dan tentu saja aku bukan malam. Jika aku adalah kenari mungil yang riang berkicau, kiranya kamu lebih senang memilih bunga diam yang syahdu lagi jauh dari ceracau.

Aku mengerti akhirnya. Penipuan adalah hal paling sadis yang merusak segala sistem. Aku telah banyak menipu diri bahwa aku diinginkan, mungkin iya, tapi hanya sesaat. Penipuan adalah kode alam yang tak pernah dimengerti, kapan ia akan menjadi fakta atau memang berakhir pada permainan belaka. Aku baru saja berjudi dengan remi di tangan kanan dan domino di tangan kiri. Aku kalah. Aku pasrah. Cerminku selama ini palsu. Ia bisu tapi menipu. Tapi rasaku padamu sejujurnya tak pernah palsu, entah kau benar setuju atau juga masih tertipu. Aku sayang kamu!

”Aku tidak meminta, tidak menyuruh tapi juga tidak melarang.
Tidak ada hak buatku untuk melarang. Tapi setidaknya dibatasi. Jangan terlalu!
Masih percaya kan kalau aku masih sayang kamu?” || aku menggeleng sambil sibuk menangis dan mendengar celoteh hatiku sendiri yang tak pernah sempat kuucap bersama sengal –percaya tidak percaya, aku ragu! Tapi inginku juga begitu, mempercayai bahwa kamu masih sayang aku.-

(/9)
HuJanuari 5 di Awal.
Tanah lapang, rumput menaut beranak pinak, lembah rendah berpadu dalam hujan, dingin dan aku tidak sendiri. Kurekam jejak itu lekat-lekat agar aku selalu ingat. Ingatan yang kusimpan hanya untuk diriku sendiri.
”Jadi bagaimana? Mau ngomong sekarang?”
”Oh iya.. emm.. sebentar, ngepasin waktu,” ia tampak sibuk melirik jam tangannya sementara hujan semakin lebat.
”Aku sayang kamu!” Sekarang giliranku mengintip waktu.
Jam 2 siang tepat.

Bertabur hujan aku masih ingat. Ia memelukku erat.
Dua jam kemudian, ia menciumku cepat-cepat.
Sial.. Aku belum siap!

(/10)
Sisa/ ACAK//
”Dan aku berangkat dengan malas, karena harus jengah menghadapi muka marahmu.”

”Coba kamu jadi aku, darl! Merasai suka setengah mati tapi seperti tiada arti! Aku bahkan tidak tahu kamu disitu karena inginmu atau mungkin karna iba padaku!”

”Hal semacam itu, mestinya tidak perlu ada. Ketika sudah tahu kalau sama-sama sayang, mestinya tidak ada saling timbang. Lebih banyak aku atau kamu yang perlu ada, tidak jadi soal. Kalau bisa ya hadir, kalau tidak bisa ya lain waktu.”

”Pernah gak? Mikir seandainya kita bisa bersama? Maksudku, seandainya kita boleh bersama?”

”Kadang rewelmu juga menyenangkan lho. Kadang doang sih..”

”Hari ini kamarmu lengang, sedang aku masih ingin jadi iblismu yang pertama kali terlihat saat fajar.”

”Menyimpan dendam untuk diri sendiri, bukan untuk membalas orang lain. Agar kita menjadi kuat tanpa harus jadi jahat.”

”Seandainya aku bisa bercerita pada ibu bahwa aku sedang jatuh cinta. Tapi ibu sepertinya tidak perlu tahu.”

”Yang kamu pikirkan tidak sebanding dengan kenyataan.”

Bring him back.. bring him back.. don’t take him away from me, because you don’t know, what his mean to me!

Ciptakan lagu yang kau anggap merdu, dek!. Sebuah alasan yang sungguh sempurna tuk tinggalkanku. Kau harus relakan setiap kepingan waktu dan kenangan.

”Apa yang salah pada kita? Apa karna kita punya lebar dahi yang sama? Raut wajah yang hampir sama? Kantung mata sisa malam yang sama? Dan Oh.. ayah yang sama? Sial!! Mengapa ayah kita harus sama?!




Minggu, 25 Mei 2014

PULANG

"Pulang"
Sepatah yang mengumbar hati patah.
Tapi saya benar-benar ingin pulang.
Pulang ke(rumah yang) mana?

Saya juga tidak tahu.
Setahu saya, terselip harapan yang menganga dalam pulang.

Memulangkan riuh redam hidup.
Merangkul kembali impian bersama jiwa yang "menginginkan kita".
Atau setidaknya yang merindukan ketiadaan kita.
Dan kita pulang, bersua, menemukan rasa itu kembali. 
Rasa dimana hidup terasa lebih berarti, 
Untuk dibagi. 

Sejauh ini,
Terlalu banyak mimpi yang turut saya ajak pergi.
Sejatinya semua harapan itu ternyata tidak pernah bermuara.
Mereka tidak bisa selalu menjadi apa yang saya ingini.
Atau saya juga tidak akan pernah bisa selalu mengerti apa yang mereka maksud.
Jadi ketika saya pulang, mungkin rindu itu akan hanya terselip sedetik, dan mereka berlalu lagi.
Perasaan seperti perasaan ini adalah hal yang paling saya tidak sukai.

Saya ingin pulang.
Walau sendirian, setidaknya tidak lagi merepotkan.
Saya ingin pulang.
Ditempat dimana saya bisa hidup tenang tanpa bayang-bayang tidak diinginkan.
Saya ingin pulang.
Menyudahi segala rasa sedih ini. 
Menyadari sisi hidup saya.
Sendiri.