Hari
Sibuk!
Menemui lelakiku diujung ufuk adalah hal yang
paling membuat aku bersemangat. Jadi, aku sudah tidak sabar. Kupejamkan mata
cepat-cepat agar aku dapat membayangkan senyumnya, sabarnya, caranya mengalah
dan sikap isengnya yang *ampun!. Aku ingin lekas esok, berkawan senja, menapak
gerimis, menjuntai malam dan KENCAN!
(/2)
Memangnya
Cukup?
Dalam rentang usianya yang tepat enam tahun, satu
bulan, delapan hari lebih awal dariku. Aku tidak yakin dia akan ingat walau
harusnya ingat. Termasuk mengingat salah satu hari terpenting dalam awal
sejarah kami. Pertemuan.
”Daging sapi, anyaman-nyaman
dan apa ya.. oh, tentu saja gitarmu,”
kataku setengah berpikir.
”Apa itu?” tanyanya heran. Jelas heran karena
memang kami baru saja disekap bisu lima
menit yang membeku.
”Itu takdir.”
Kugigit bibir bawahku, takut salah ucap. Nyatanya memang
kudapati ia diam saja. Hanya mengangguk sambil memainkan tangan kananku yang
sedari tadi sibuk diayun. Perhatiannya lantas terusik untuk menyamakan langkah
kami yang mulai tidak seragam.
”Ini sudah lebih dari cukup.”
Entah untuk yang keberapa kalinya, aku kembali tidak suka mendengar kalimat
itu. Diam-diam kupunguti serpihan puzzle
hatiku yang baru saja remuk. Kususun kembali bersama hening sambil menahan
sesuatu dibalik sekat mata yang meski sudah berkantung, rasanya tetap saja
ingin tumpah. Seharusnya, begini saja
memang sudah cukup.
(/3)
Kopi (tanpa) Elegi
Hari ini luar biasa. Kubiarkan
semua berjalan diluar dari biasa. Perjalanan panjang memburu senja baru saja
usai. Aura jingga mengepul diantara padu padan cahaya kamera yang menyisakan
bayangan siluet. Bayangan itu, bayangan kami. Bayangan yang sepertinya membuat
lalu lalang iri.
Melepas penat. Kuubah menu
racikan kopi pesanannya dengan setengah sendok teh gula lebih banyak dari biasa. Semoga tidak jadi masalah. Pikirku.
”Rasanya lebih manis, tapi
tetap enak,” katanya sambil menyesap sisa kopi yang kusuguhkan.
”Suatu saat, kamu pasti akan merindukan
kopi buatanku,” jawabku asal.
”Sepertinya begitu.”
”Harus begitu,” paksaku.
”Hahaha.. dasar.” Kali ini
jawabannya diiringi gerakan tangan yang langsung mengarah ke kepalaku. Mengacak-acak tatanan
rambut panjang asimetrisku.
(/4)
Pantai Lepas/ Lepas Pantai?
..Rasa tak sanggup kau kulepas. Jangan satukan hidupmu dengan hidupku. Aku memang tidak
bisa lama bersama.. (Pemberian tahu-Chairil Anwar).
Sajak itu terus berdansa
lembut. Memberi stimulus aneka rasa di otakku. Sajak yang kemudian ia akhiri
dengan kalimat,
”Seandainya hidup itu
sendiri-sendiri, sama sekali tidak terkait dengan orang lain, aku senang-senang
saja menyukai dan berhubungan denganmu terus.” Aku rasai ucapannya seolah
baru saja menggulung bersama deburan ombak yang dipecah karang, begitu lepas.
”Sayangnya hidup tidak semudah
itu ya? Tidak apa-apa. Dari awal kan kita juga sudah sepakat bahwa
bagaimanapun, tidak akan merubah apapun. Cuma menggeser.”
”Iya, memang tidak akan
merubah apapun. Oleh karenanya aku merasa berkewajiban untuk menjagamu. Karena
dari awal, mengakui perasaan inipun sebenarnya sudah merusak.” Dia menghela
nafas dan kembali bergumam,
”Maaf, untuk telah begitu
egois dan membiarkan ini semua jadi berlarut.”
Belum sempat aku menjawab, ia
telah lebih dulu menarik lenganku, mengajak untuk beranjak. Aku menurut saja. Lagipula
setapak yang banyak berhasil membuat jantungku kembali kuat. Tidak sesesak tadi
saat mendengar ia berucap. Aku tidak ingin mengingat apapun tentang malam ini.
Kecuali tentang bianglala yang tidak berputar, puncak kapal batu yang begitu
kekar dan lidah api yang tak henti berpijar.
”Percayalah, akan selalu ada hal ajaib jika denganku.” Dan memang waktu
seketika berhenti berputar.
(/5)
Biasa yang Tak Biasa
Suatu ketika, ia sakit. Aku
ingat betul malam itu. Malam dimana kami biasa berkencan disebuah taman. Malam
yang tidak biasa. Genggamannya terasa lebih panas dari biasa. Tatapannya tampak
sayu luar biasa dan oh, tentu saja keningnya yang bertemperatur lebih maksimal
dari biasa. Malam itu, kami putuskan untuk pulang lebih awal dari biasa.
Pagi menangis. Gerimis turun
tiada habis. Kubangunkan ia perlahan dan lekas memintanya sarapan. Semua sudah
siap. Ia hanya tinggal lahap. Air mineral, obat pabrik rasa pahit dan selusin roti
gandum yang sengaja kupilihkan berasa coklat. Rasa kesukaanku (yang mungkin
bukan jadi kesukaannya).
”Bajumu basah, kamu habis
hujan-hujan?” tanyanya.
”Cuma gerimis,” aku meringis
sambil menahan sensasi gigil baju kuyupku.
”Enak?” tanyaku saat ia baru
saja menyelesaikan eksekusi roti pertamanya.
”Rasanya pahit. Kepalaku masih
pusing,” keluhnya. Aku bergegas memeriksa lagi suhu badannya. Benar saja, masih panas.
”Makanya jangan hobi begadang.
Setelah ini, lekas sikat gigi, minum obat dan istirahat.”
”Iya. Dasar rewel,” gerutunya.
Aku mendengus sebal. Sebaliknya, ia tertawa dan tampak susah payah berusaha
kabur terhuyung menuju kamar mandi. Sekembalinya, ia lantas menuruti skemaku.
Minum obat dan akan kembali beranjak tidur.
”Cepat sembuh ya. Sakitnya
jangan lama-lama,” ucapku. Ia tidak menjawab karena mungkin terlalu sibuk
dengan lemah fisik yang mendera. Namun saat aku berjingkat hendak pergi, dalam
posisi tubuh terbaring, ia mendadak meraih tanganku dan berucap,
”Aku mual, rasanya ingin
muntah.” Setelah itu matanya kembali terpejam. Ia tidak memintaku untuk tidak
pergi, tapi genggaman tangannya cukup membuatku sadar diri (atau mendadak merasa
GR!). Dasar manja. Namun, kuturuti
saja triknya. Aku kembali duduk ditepi ranjangnya, menemani, mengamati, sedikit
berisik dalam senandung, hingga mendapatinya benar-benar terlelap.
(/6)
Have You
Ever Needed Someone So Bad?
Lagi-lagi gerimis. Namun
rasanya sadis. Aku baru saja merasa teramat takut kehilangan ingatanku. Aku
linglung. Semuanya berpendar. Ramai. Aku terasing dalam salah. Aku ingin
menangis. Aku hanya ingat, mendadak ia datang, padahal aku belum sempat
menghubungi siapapun, padahal kemungkinan besar bisa saja kenalan lain yang
datang. Aku tidak tahu mengapa harus bertepatan dengan ia yang datang. Oh
Tuhan, terimakasih ia datang.
Aku tidak tahu apakah aku
memeluknya ataukah aku sempat menangis atau bagaimana. Setahuku, saat aku
sadar, tahu-tahu serangan sensasi perih menjalar diseluruh tubuh, tangan dan
kakiku. Aku susah gerak.
Rupanya ia telah membopongku
menuju kamar mandi, membersihkan lukaku. Aroma anyir darah menyeruak di segala
sudut kamar mandi. Aliran darah bercampur pasir menyatu berlalu begitu saja
dengan air, meninggalkan lukaku.
”Lekas ganti baju! Bajumu
sobek,” katanya sambil menyodorkan baju ganti.
”Hah?” sambil meringis menahan
sakit kuikuti gerakan matanya. Benar saja, bajuku sobek dibagian siku dan
lutut. Dengan sisa sadar, kuraih baju
gantiku, menyuruhnya menunggu diluar dan segera kuganti bajuku.
Setelahnya, ia kembali membopongku
menuju kamar tidur dan berjaga ditepi ranjang sambil menyematkan telapak
tangannya ke tanganku. Kami bercerita panjang lebar tentang apa saja yang baru
terjadi. Namun tidak lama kemudian, rasa lelah itu datang, membuatku mendadak tidak
mau tahu terhadap apapun. Aku terlelap dalam sakit fisik yang sangat.
(/7)
Penipu
Hari penipuan itu tiba. Ia
pergi. Sekalipun aku tahu ia tidak benar-benar pergi. Tapi kepergiannya kali ini membuatku mendadak tidak punya keberanian berbicara
seperti biasa, meminta seperti biasa dan memaksa seperti biasa. Aku hanya masih
punya rasa rindu yang beraninya luar biasa. Jadi yang kulakukan kemudian adalah
mati-matian memendam rindu dan sebisa mungkin berusaha menipu diri agar
tampak kuat, tegar dan itu mustahil.
”Aku kok kangen kamu ya? Dan itu sungguh
menyebalkan,” sapanya suatu ketika lewat media pesan singkat.
”Terimakasih. Aku juga. Semoga
bisa ketemu. Kapan-kapan. Entah kapan.” Aku berbohong. Demi apapun, yang
sebenarnya ingin kutulis adalah -Aku
kangen kamu, kangen banget. Aku ingin kamu disini. Sekarang!-
”Iya. Tapi aku tidak berharap
banyak. Entah
kita akan bertemu atau tidak, entahlah.”
”Sama. Aku juga sudah hopeless. Sudah sejak jauh hari, aku
tidak ingin mengatur waktu, juga tidak ingin memaksa. Aku pasrah.” -Atau lebih tepatnya aku masih berharap
terlalu banyak-
”Sadar kalau hidup itu terus
berjalan.”
”Pun aku sadar jika ini semua
tidak baik. Untukku. Untuk siapapun.” -Tapi
bisakah jangan pergi? Aku masih ingin bersamamu lebih lama lagi. Entah sampai
kapan-
”Aku tidak ingin memberatkan
langkahmu. Memberatkan langkah orang yang tidak bisa kuajak untuk terus sejalan. Tidak
baik. Walau sebenarnya senang.”
”Iya. Gpp. Aku ngerti. Jaga
diri ya. Jangan lupa makan, istirahat yang cukup, lekas tidur, besok kan mesti
berangkat kerja.” Aku mulai terisak. Biar saja. Lagipula ia tidak akan tahu.
”Dasar. Orang kok hobi banget
ngatur,” balasnya. Bayangan wajah gemasnya sesaat melintas, membuat tangisku
semakin menjadi. Tangis yang bercampur tawa, rindu dan sebal sekaligus.
”Hahaha, kalau bukan aku,
siapa lagi yang akan mengingatkanmu?”
”Ibuku.”
(/8)
SKETSA
Bayangan itu berkelabat cepat.
Silih berganti. Dengungan suara, percikan sketsa, gambarmu, gambarku, sorot
mata itu, anak tangga, ice cream,
hujan, jembatan di perbatasan hutan, coklat, kopi, 22 Januari, tepi sungai,
senja, bunga, nyanyian, pesan pengantar tidur, sebuah novel, dan lain
sebagainya. Bayangan itu terdiri dari bayanganku dan lelakiku. Lelaki yang
menyambut kepulanganku di pintu depan tempat kerja. Lelaki yang membisikkan
kalimat Aku sayang kamu! Sayang!. Lelaki yang bersamanya aku bisa bebas menggurui,
menghardik, mendidik sekaligus bersembunyi dalam pelik. Lelaki tempatku
menangis, tertawa, bermanja, merasa senang dan tenang. Lelaki cermin yang dalam
sudut jiwanya kutemui jiwaku. Jiwa-jiwa puitis, harmonis dan pecinta musik
manis. Akhirnya waktuku habis.
Aku tersentak dalam tangis.
Seluruh ragu mendadak datang menyerbu. Apakah aku pernah benar-benar disayang?
Setidaknya dengan tulus tanpa perlu lebih dulu aku merajuk malang. Seingatku,
selama ini kiranya aku terlalu manja, memaksa segalanya berjalan seperti yang
kuminta tanpa mungkin sempat mendengar maumu. Jengahkah kamu?
Aku mungkin pernah dimengerti,
disayangi dan aku hanya membautmu semakin tidak punya hati, habis akal, lelah.
Aku yang salah, jika sudah mengerti, harusnya aku sadar diri. Aku ini apa dan
siapa aku ini?. Suatu ketika pada kalimat ”selamat malam, malam” aku tercengang
begitu lama. Aku adalah yang terjaga namun tak pernah bisa menjaga (diriku
sendiri) dan tentu saja aku bukan malam. Jika aku adalah kenari mungil yang
riang berkicau, kiranya kamu lebih senang memilih bunga diam yang syahdu lagi
jauh dari ceracau.
Aku mengerti akhirnya.
Penipuan adalah hal paling sadis yang merusak segala sistem. Aku telah banyak
menipu diri bahwa aku diinginkan, mungkin iya, tapi hanya sesaat. Penipuan adalah
kode alam yang tak pernah dimengerti, kapan ia akan menjadi fakta atau memang
berakhir pada permainan belaka. Aku baru saja berjudi dengan remi di tangan
kanan dan domino di tangan kiri. Aku kalah. Aku pasrah. Cerminku selama ini palsu. Ia bisu
tapi menipu. Tapi rasaku padamu sejujurnya tak pernah palsu, entah kau benar
setuju atau juga masih tertipu. Aku sayang kamu!
”Aku tidak meminta, tidak menyuruh
tapi juga tidak melarang.
Tidak ada hak buatku untuk
melarang. Tapi setidaknya dibatasi. Jangan terlalu!
Masih percaya kan kalau aku
masih sayang kamu?” || aku menggeleng sambil sibuk menangis dan mendengar
celoteh hatiku sendiri yang tak pernah sempat kuucap bersama sengal –percaya tidak percaya, aku ragu! Tapi
inginku juga begitu, mempercayai bahwa kamu masih sayang aku.-
(/9)
HuJanuari 5 di Awal.
Tanah lapang, rumput menaut
beranak pinak, lembah rendah berpadu dalam hujan, dingin dan aku tidak sendiri.
Kurekam jejak itu lekat-lekat agar aku selalu ingat. Ingatan yang kusimpan
hanya untuk diriku sendiri.
”Jadi bagaimana? Mau ngomong
sekarang?”
”Oh iya.. emm.. sebentar,
ngepasin waktu,” ia tampak sibuk melirik jam tangannya sementara hujan semakin
lebat.
”Aku sayang kamu!” Sekarang
giliranku mengintip waktu.
Jam 2 siang tepat.
Bertabur
hujan aku masih ingat. Ia memelukku erat.
Dua jam kemudian, ia menciumku cepat-cepat.
Sial.. Aku belum siap!
(/10)
Sisa/ ACAK//
”Dan aku berangkat dengan malas, karena harus jengah menghadapi muka
marahmu.”
”Coba kamu jadi aku, darl! Merasai
suka setengah mati tapi seperti tiada arti! Aku bahkan tidak tahu kamu disitu
karena inginmu atau mungkin karna iba padaku!”
”Hal semacam itu, mestinya tidak perlu ada. Ketika sudah tahu kalau
sama-sama sayang, mestinya tidak ada saling timbang. Lebih banyak aku atau kamu
yang perlu ada, tidak jadi soal. Kalau bisa ya hadir, kalau tidak bisa ya lain
waktu.”
”Pernah gak? Mikir seandainya kita bisa bersama?
Maksudku, seandainya kita boleh bersama?”
”Kadang rewelmu juga menyenangkan lho. Kadang doang sih..”
”Hari ini kamarmu lengang, sedang aku masih ingin
jadi iblismu yang pertama kali terlihat saat fajar.”
”Menyimpan dendam untuk diri sendiri, bukan untuk membalas orang lain. Agar
kita menjadi kuat tanpa harus jadi jahat.”
”Seandainya aku bisa bercerita pada ibu bahwa aku
sedang jatuh cinta. Tapi ibu sepertinya tidak perlu tahu.”
”Yang kamu pikirkan tidak sebanding dengan kenyataan.”
Bring him back.. bring him back.. don’t take
him away from me, because you don’t know, what his mean to me!
Ciptakan lagu yang kau anggap merdu, dek!.
Sebuah alasan yang sungguh sempurna tuk tinggalkanku. Kau harus relakan setiap
kepingan waktu dan kenangan.
”Apa yang salah pada kita? Apa karna kita punya lebar
dahi yang sama? Raut wajah yang hampir sama? Kantung mata sisa malam yang sama?
Dan Oh.. ayah yang sama? Sial!! Mengapa
ayah kita harus sama?!”