Sabtu, 04 Agustus 2012

CATATAN DARI "DARU KARTIKO" UNTUKKU

Masih Tanpa Judul

oleh Daru Kartiko N pada 2 Agustus 2012 pukul 10:57 ·
Aku berdiri di sini, di sebuah tempat yang tak pernah sepi dari kumpulan anak manusia, seolah mereka tak bisa hidup tanpa adanya tempat ini. Aku menyamakan tempat ini sebagai sebuah tempat pembunuhan, pembunuh bagi anak manusia yang kurang beruntung terlahir lebih dulu. Anak manusia yang beranjak meninggalkan masa kejayaannya, semakin tersingkir mereka dari dunia yang membesarkannya karena keberadaan tempat ini. Tempat ini adalah pembunuh bagi mereka yang lebih dulu menggantungkan hidup dari jasa tukar menukar, tetapi orang-orang yang lebih pandai dari aku menyebutnya sebagai plaza atau mal. Entah apa artinya, bahkan aku pun tak tahu itu berasal dari bahasa mana.

Jam menunjukkan pukul 6 tepat ketika aku melangkah keluar meninggalkan tempat ini. Aku berjalan menuju tangga megah yang berada tepat di depan pintu masuk tempat ini. Tangga ini juga sebagai jalan utama bagi kita untuk memasuki tempat ini, tangga besar yang seolah menunjukkan keangkuhan dari tempat ini. Tangga ini terbuat dari kaca yang sangat bening dan berkilau, bahkan saking beningnya kita bisa melihat batu-batu yang menjadi fondasi tangga-tangga tersebut. Aku berhenti di anak tangga ke 4, berjalan ke arah kiri hingga mencapai ujung anak tangga tersebut. Kubuka botol minumanku, sudah tak tahan rasanya aku ingin membasahi kerongkonganku yang sudah sangat kering melebihi keringnya gurun pasir.

“Balon-Balon, Balon Nak buat mainan di rumah.”



Aku menoleh ke arah datangnya suara tersebut, tepat 3 anak tangga di depanku terdapat seorang penjual balon sedang menawarkan dagangan balon kepada anak kecil yang kebetulan lewat di depannya. Aku tak peduli akan hal itu , kuteguk kembali minumanku untuk memuaskan dahaga yang masih menghinggapi kerongkonganku. Aku memandang sekeliling, tak ada yang spesial, semua sama saja seperti hari-hari biasanya. Kendaraan yang ramai di jalan utama persis di depan tempat ini, sekumpulan tukang becak yang saling berlomba menawarkan jasa, serta jajaran taksi yang siap untuk memberikan kenyamanan lebih bagi kaum yang tak tahan dengan asap kendaraan khas jalanan.

“Mau rokok pak?”

30 menit sudah penjual balon itu kulihat diam mematung, sungguh pose yang menarik perhatianku kala itu. Matanya hanya memandang ke depan, berharap tak ada satu orang pun yang tahu apa yang sedang dipikirkannya. Keadaan dirinya seolah berkata bahwa dia sudah menjalani semua kerasnya hidup dan tak akan pernah kalah oleh hal tersebut.

Kutawarkan rokok kepada penjual balon tersebut. Aku tahu penjual balon itu seorang perokok, dari adanya beberapa puntung rokok tertata rapi di atas kertas di samping penjual balon tersebut. Dengan sekali bungkus, maka puntung rokok tersebut akan terkumpul menjadi satu dalam kertas tersebut. Sebuah keadaan yang menunjukkan bahwa mengotori tangga ini adalah sebuah kejahatan, seolah tangga ini begitu suci sehingga harus dijaga kebersihannya dari kotoran apapun.

“Terima kasih Nak.” Ucap penjual balon tersebut sambil mengambil sepuntung rokok dari bungkus yang kusodorkan.

“Sama-sama Pak. Sudah laku berapa Pak hari ini?” Aku bertanya basa-basi memulai pembicaraan.

“Alhamdulillah Nak, cukup buat sahur dan buka sekeluarga besok.”

Cukup buat sahur dan buka besok, aku tahu dari jawaban itu bahwa keadaan sebenarnya pasti lebih buruk.

“Alhamdulillah kalau begitu. Oh ya, saya permisi dulu, saya mau melanjutkan kerjaan yang belum selesai, semoga balonnya laris manis Pak.” Kataku penuh senyum kepada penjual balon tersebut.

“Amin Nak, silakan kalau mau pergi dulu, terima kasih atas rokoknya.”

“Sama-sama Pak, mari saya pergi dulu.”

Aku pun berjalan meninggalkan penjual balon tersebut, sempat pula kuamati balon-balon yang menjadi dagangan penjual balon tersebut. 3 balon pesawat, 4 balon bulat, serta 2 buah balon tokoh kartun melambai-lambai diterpa angin. Balon-balon itu seolah melambai kepada setiap orang yang lewat agar segera dibawa pergi dari tempat yang begitu dingin diterpa sang dewi angin. Malam kian menjelang dan angin semakin kencang, namun tempat ini seolah tak terpengaruh oleh suasana dingin yang menusuk ke urat nadi. Tempat ini punya kehidupan sendiri, kehidupan bagi anak manusia yang begitu memuja dan bergantung kepadanya.

Keesokan harinya, tepat pada jam yang sama aku kembali berjalan menuju tangga megah di depan tempat ini. Kutatap sekitar, dan kembali kudapati penjual balon tersebut di sudut yang sama saat pertama kali kutemui. Tatapannya kosong, tatapan yang tak berbeda saat dia pertama kali menarik perhatianku. Entah apa yang dipikirkannya saat ini, matanya mampu menyembunyikan dengan sempurna apa yang dia pikirkan dan seolah enggan membaginya dengan manusia lain.

“Bagaimana pak jualannya hari ini?” Tanyaku mencoba mengawali obrolan.

“Oh, Alhamdulillah Nak, lumayan.” Sahut penjual balon tersebut terkejut.

Secuil senyum terukir di sudut bibir penjual balon tersebut, tapi tak terlalu kuperhatikan. Aku lebih suka mengamati balon yang menjadi dagangan penjual balon tersebut. 3 balon pesawat, 4 balon bulat, serta 2 buah balon tokoh kartun. Masih sama dengan kemarin, bahkan komposisi warnanya pun sama persis. Mungkinkah penjual balon ini tak menjual satu pun balon sejak kemarin?

“Permisi Pak, ini ada rokok untuk bapak.”

Kusodorkan sebungkus rokok kepada penjual balon tersebut. Dia membukanya, dan hanya mengambil sepuntung dari bungkus yang kusodorkan.

“Semua untuk bapak, Alhamdulillah tadi saya ada rezeki dikasih dua bungkus rokok dari seseorang. Jadi saya masih ada sebungkus Pak, yang sebungkus untuk bapak saja.” Kataku sambil tersenyum.

“Alhamdulillah Nak kalau begitu, semoga rezekinya dilancarkan Nak.”

“Amin Pak, semoga bapak juga dilancarkan rezekinya. Saya permisi dulu Pak, ada kerjaan yang harus saya selesaikan”

“Iya Nak, silakan. Terima kasih Nak.”

Aku beranjak pergi sambil tersenyum kepada penjual balon tersebut. Mungkin penjual balon tersebut sedang mengenang kejayaannya dulu saat keluar masuk pasar menawarkan dagangannya. Sekarang penjual balon itu tersingkir dari perubahan jaman yang begitu drastis, keadaan yang berubah demikian cepat menyebabkannya harus mengejar di mana manusia berkumpul. Tak lagi banyak manusia yang memperhatikannya, karena apa yang dia bawa memang sangat tidak menarik dibanding semua barang yang ada di tempat ini.

Aku berjalan masuk ke dalam tempat ini, mengikuti arus manusia yang tiada henti membanjiri dari berbagai sudut. Aku berjalan menuju ruangan di salah satu sudut tempat ini, ruangan kecil yang tertutup oleh sebuah pintu berwarna merah dengan tulisan besar “Selain Karyawan Dilarang Masuk”. Kuambil kain pel di dalam ruangan tersebut, dan kulanjutkan pekerjaanku mengepel salah satu bagian dari tempat ini.

Inilah pekerjaanku, sebagai petugas kebersihan dari tempat ini. Kupungut beberapa rupiah dan sebungkus rokok setiap hari dari pekerjaan ini. Hanya rokok yang bisa kubagikan kepada penjual balon tersebut, karena aku pun tak mungkin membagi rupiahku yang nilainya pas-pasan dengan kebutuhan hidupku. Upah rokokku lebih berguna bagi penjual balon tersebut, karena rupiah penjual balon yang seharusnya untuk beli rokok bisa dialihkan untuk menghidupi anak dan istrinya. Penjual balon tersebut sedang menyiapkan masa depan anak-anaknya, berbeda denganku yang hanya sebatang kara. Hanya bergantung kepada angin, yang entah akan membawaku ke mana lagi setelah semua ini berakhir.






Madiun, 1 Agustus 2012
Persembahan spesial untuk sahabatku Shinta Dewi Damayanti
Terima kasih telah mengingatkanku untuk menulis tentang ini, selesai dalam satu malam kan akhirnya. :D


Spesial juga untuk orang-orang yang lama tak membaca tulisanku, segeralah kamu baca tulisan ini. Karena seperti biasanya, tepat satu bulan dari sekarang tulisan ini akan aku hapus. :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar