Saat ini, aku sedang berada di ruang aquarium berukuran 3x3 meter,
dengan telinga dibebali puluhan suara beraroma pop western era 90an dan diluar hujan. Bagaimana semua bisa
terasa begitu serasi? Rasa ingin yang kusimpan kuat-kuat dan nada lagu yang
menyindir kian hebat. Ah, siapa suka membaca isyarat cinta yang isinya hanya
merujuk pada hubungan 2 senyawa? Kupikir kau tidak. Mereka juga tidak. Tapi aku
suka. Seperti ketika kau lebih suka pada takaran 2-1 untuk ukuran sendok teh
dan cangkir mungil kopimu. Akupun suka siasat sambal saja tanpa saus nan kecap
untuk mie ayam atau mangkuk baksoku. Jadi, jika kita berbeda apakah masih bisa diterima?
Kenyataannya
tidak. Perbedaan itulah yang akhirnya memaksa kita untuk tidak bisa bersama
walau ingin. Oh, mungkin hanya aku saja yang ingin. Entahlah. Perpisahan kita
kemarin rasanya seperti paceklik panjang yang menghabiskan segala jatah air
mataku. Perpisahan yang katamu adalah yang memang semestinya begitu, sebaliknya
kubantah habis sebenarnya kau juga tidak ingin begitu. Kau masih cinta aku kan?
Oh darl, semestinya kita tidak perlu
berpisah setelah sekian lama terbiasa bersama.
***
”Ayolah, jangan mengasihani dirimu sendiri. Iya
aku tadi sangat tidak nyaman meski bisa menguasai keadaan, tapi aku tidak bisa
menutupi rasa kecewaku padamu. Kecewa karena kamu seolah ingin tahu bagaimana
reaksiku saat melihatmu sedang bersama yang lain. Berarti kamu tidak percaya
aku. Semoga, besok pagi, saat kamu membaca pesan ini, segalanya bisa kembali
normal lagi, buatmu, aku ataupun dia. Good night, Sofia. Aku (masih) sayang
kamu. Dan itu (masih) terasa cukup buatku. Tak akan ada yang berubah, hanya
bergeser. Percayalah!.”
Pesanmu semalam, baru kudapati
sepagi. Kau memang selalu begitu. Selalu rumit dan penuh taktik. Aku tidak
mengerti harapan, cita-cita dan arahmu tapi kudapati kini aku terlanjur
tersesat. Tersesat pada perasaanku sendiri yang sepenuhnya belum bisa menerima
ini. Tersesat di persimpangan ikhlas dan meratap kandas. Bagaimana bisa aku
semenyedihkan ini? Apa arti cantik, cerdas dan segala lebihku yang ternyata
bahkan tidak pernah bisa menahanmu untuk tetap berjuang menemui senja usia
bersama? Kau benar-benar.. Menyebalkan!!!
***
Ini minggu ketiga sejak
perpisahan kita. Malamku
lengang tapi tidak turut memaksa hilang biasaku menunggumu pulang. Akhirnya aku
paham, sandarmu bukan disampingku lagi sekarang. Tergesa kukirim pesan, agar
tidurku sedikit lebih tentram.
”Mas, boleh minta ucapan selamat tidur?”
”Boleh minta apapun, tapi belum tentu kuberi.”
”Mas..”
”Ya.”
”Aku saja yang bilang. Aku sayang, mas. Selamat
tidur.”
”Haha, jangan nelangsa.
Aku sebisa mungkin menghindari apa yang tidak baik buatmu. Diantaranya adalah bilang sayang padamu.”
”Pastinya rasanya tidak enak. Sama seperti setiap
pagi bangun dengan perasaan sedikit kecewa karena tidak lagi menemukan kalimat
-Selamat Tidur, Sofia- seperti yang selama ini sering terjadi.”
”Lama kelamaan akan terbiasa. Kecuali jika kamu
pelihara. Have a nice sleep. Don’t
dreaming!.”
***
”Pernah
Ada” memang tidak searti dengan ”Sedang Ada”. Seperti biasa, walau sudah tidak
bersama, kita masih saling bagi. Tentang hidup kita yang mulai berwarna,
tentang hal-hal konyol yang sesekali kita kenang dan tentang kesepakatan yang
mulai kita perbarui.
Suatu
ketika, rasa cemburu itu menyapa lagi. Cemburu yang salah karena memang tiada
alasan apapun yang membenarkan sikap dari rasa posesif tak bertuan ini. Siapa
aku dan memangnya siapa kau sekarang?. Apa yang bisa kulakukan selain menunggu
caramu besikap? Nyatanya, aku memang tidak pernah bisa mengabaikan pesan
singkatmu yang tidak hanya menggetarkan HP-ku tapi juga hatiku sekaligus.
”Sofia, aku kangen.”
”Hah?”
”Iya aku kangen.”
”Sama?”
”Kamu.”
(hening)
(hening)
”Aku masih sayang kamu, Sofia. Dan tidak
ingin berseteru denganmu terus. Sampai lupa caranya kangen gara-gara sikap
marahmu. Soal kedekatanku dengan perempuan lain, idealnya kamu mengerti karena
aku tidak ingin semakin jauh denganmu. Semakin jauh semakin dalam. Disamping
memang aku sedang punya banyak tanggung jawab dan butuh ngopi bersama rekan
untuk menenangkan pikiran. Dan jika denganmu aku semakin pusing karena aku
tetap beranggapan bahwa hubungan ini salah. Di sisi lain, masih ada perasaan yang menuntunku
untuk bertemu denganmu. Jujur aku kangen. Berdua denganmu. Biasa-biasa saja.
Sewajarnya saja. Tanpa harus memikirkan hubungan ini kedepannya seperti apa. Have a nice sleep, Sofia.”
Aku belum tidur, belum sebelum mendapat
ucapan itu. Meski hanya sebatas kalimat yang terbaca sama setiap harinya dan meski
tak selalu kubalas, sepenuhnya kau perlu tahu bahwa karenanya tidurku akan
kembali pulas. Malam ini bersama sisa mata yang sembab, aku mengganti rasa
cemburuku dengan yakin yang pasti bahwa kau masih cinta!
***
Hari
ini kita kencan. Sebenarnya kurang pas kalau pertemuan kali ini dibilang kencan
karena memang kita bukan lagi sepasang walau nyatanya aku masih saja suka
kasmaran. Apapun namanya,
hari ini aku akhirnya merasainya lagi. Bertemu denganmu, berdebar dan tidak lagi
kecewa seperti beberapa waktu lalu. Ya, beberapa waktu lalu kita hampir saja
kencan, kau sudah menjemputku dan mendadak kau bergegas pula meninggalkanku
bersama kata maaf yang terburu. Alasannya? Apalagi kalau bukan karena urusanmu
dan kolegamu dan apalah itu yang aku selalu tidak pernah paham tentang arti
mereka bagimu dan bagi kelangsungan hidupmu. Yang aku tahu, kau begitu
menghormati mereka. Itu saja.
Kau
memang selalu sibuk dengan duniamu yang penuh dengan do’a-do’a, politik dan urusan
kaum atas yang membuatku hanya mengangguk-angguk setiap kali kau begitu
antusias bercerita tentang nabi-nabi, hukum-hukum dan tentang hal-hal yang
berbau filosofi. Kalau sudah begitu, kau mungkin tidak sadar betapa cerewetmu
lantas membuatku gemas. Kau memang menggemaskan.
Dunia
kita memang begitu kontras, darl. Itu
yang akhirnya kusadari tentang alasan mengapa kita berpisah. Kau memang lebih
pantas mendapat yang lebih, yang bukan seperti aku dan segenap pemikiran
dangkalku.
Kira-kira
bagaimana rasanya menjadi sepertimu? Yang pada sudut lain juga tidak dapat
kututup mataku bahwa kau sedikit banyak selalu menyempatkan waktu menemuiku,
mengajakku melihat tinggi rendah daratan dan terjaga menjelang tidurku hanya
untuk membisikkan kata ”Have a nice
sleep”. Aku memang begitu beruntung, setidaknya untuk pernah dimiliki
lelaki yang tidak pernah mengumbar kata dan rasa sayangnya padaku di dunia
maya, namun merujuk jelas begitu sayang dalam sikap nyata yang hanya
ditunjukkan padaku. Hanya aku. Atau sesekali dihadapan mereka jika rasa malumu
sedikit berkurang. Ya kan?
”Kenapa diam? Aneh, seperti baru mulai
kenalan saja. Diam. Bingung memulai, mencari kata-kata yang tepat dan oh, apa
kau masih ingat kapan kita
pertama kali kencan?” Aku
segera bingung mencari fokus untuk menjawab kalimat panjangmu.
”27 Desember.”
”Bagaimana bisa kau selalu ingat?”
”Entahlah.” Aku kembali asyik menghabiskan
bebek gorengku sambil sesakali menatap air mineralmu yang jernih. Kau sadari
atau tidak, aku juga tahu kau tidak pernah bisa berpisah jauh dengan cairan
itu.
Ampun
aku untuk ukuran perutku yang ternyata hanya mampu menampung jatah setengah
dari sepiring nasi yang terhidang. Melirik sejenak pada piringmu, habis bersih
dan pikiranku yang iseng lantas menarik simpul sesukanya. Nasi ini ibarat rasa, rasamu padaku mungkin sudah habis tapi lihat punyaku
bahkan masih tersisa banyak. Andai kau tahu atau andai kau mau tahu dan ayolah
jangan berpura-pura tidak tahu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar