Sabtu, 30 Agustus 2014

SENI EYANG MANGUN DAN CARANYA MEMBANGUN JIWA ANYAR DALAM MANYAR



”Tik, serius. Bagaimana seandainya, ini hanya... hanya seandainya. Bagaimana seandainya Teto tidak berminat padamu, jangan lagi melamar. Kan bertepuk  tangan sebelah tidak bisa.”
”Kalau dia tidak melamar, sayalah yang melamar.”
Terkejut Bu Antana mendengar ucapan yang menurut adat tidak semestinya itu. (BbM – hal. 139 – Bu Antana & Atik)

Boleh saya tanya sesuatu? Pernahkah anda sebagai perempuan melakukan hal-hal diluar nalar untuk mengapresiasikan rasa suka anda terhadap pasangan? Atau pernahkah anda sebagai seorang lelaki mendapat perlakuan yang begitu berkesan dari perempuan yang pernah atau sedang hidup dalam rotasi hati anda? Jika bagi anda menyukai dan disukai saja sudah cukup, maka mungkin anda perlu banyak belajar dari sosok Atik tentang apa yang namanya seni menyatakan perasaan, menyusun rencana dan menerima konsekuensi atau bagaimanapun caranyalah agar supaya perasaan suka tersebut tidak hanya sampai pada titik stagnan, terpendam, habis, monoton dan membosankan.

Selain Atik, novel ini turut bercerita tentang sosok Teto dan masa lalunya yang acak, dimana teduh berubah gaduh. Ayah yang hilang, ibu yang mati gila, pujaan yang bersebrang pandang dan jabatan yang tinggi namun sekaligus makan hati adalah yang kemudian melahirkan sosok Teto yang penuh dendam, kuat tapi rapuh dan sekaligus mati kutu karena angkuh. Namun Teto punya rasa, satu-satunya alasan yang membuat lelaki ini kemudian memilih untuk bertahan hidup dalam takut. Takut akan nasib dan pengakuan kenyataan yang baginya tak pantas untuk ditukar dengan segala jenis keberuntungan pada sosok Atik, perempuan yang disukainya.

Atik, Atik, Atik dan Atik lagi...Seperti apa memangnya karakter Atik dalam cerita ini? Kalau anda pernah membaca beberapa novel sejenis, maka anda mungkin akan sepaham dengan pendapat saya seperti berikut:
Pencitraan perempuan pada tokoh Atik di novel ini tampak jauh berbeda dengan beberapa novel roman kawakan sejenis semisal sosok Analise dalam Bumi Manusia karya PAT yang terkesan begitu rapuh, Srintil ala Ahmat Tohari dalam Sang Penarinya yang ”berani” namun sekaligus terbelakang, atau sosok Tuti yang teguh saja pun Maria yang anggun saja dalam Layar Terkembang karya Alisyahbana. Burung-burung Manyar, adalah novel roman karya Eyang Mangun yang dibangun dengan apik dengan menghidupkan sosok Atik yang cerdas dan merupakan perpaduan antara Kartini dengan segala bentuk emansipasinya, Klenting Kuning dalam upaya ”ngunggah-unggahi” (melamar) Ande-ande Lumutnya, sekaligus sosok Amelia pada sebuah lagu yang tergambar begitu lincah dan riang gembira.

”Apa kau kira orang yang dipimpin itu selalu lebih lemah?” Matanya bening dan lebar penuh pertanyaan. Kuteruskan: ”Jana tidak dipimpin. Dialah yang memimpin, Atik. Hanya kau yang tidak tahu. Susahnya kau wanita terlalu pandai. Tetapi terlalu emosi juga.”
”Apa salahnya?”
”Bukan soal salah. Memimpin tidak selalu dengan komando, Tik. Kualitaslah yang memimpin dan kualitas sering menang tanpa kata. Kau mestinya harus tahu itu. (BbM – hal 255 – Teto & Atik)

Dalam percakapan tersebut Eyang Mangun menggambarkan sosok Atik yang keras kepala dengan segala bentuk pandangannya. Untung saja Teto tidak kalah bijak dalam bersikap. Masa lari dari kenyataan dan melepas segala jenis kesusahan yang membebani jiwanya termasuk perasaan sukanya, telah mengajari Teto seni untuk menjaga. Menjaga agar rumah tangga Atik tetap utuh. Menjaga agar semua berjalan sebagaimana mestinya. Menjaga agar ia sendiri mampu mengendalikan perasaannya. Walau akhirnya Eyang Mangun sendiri juga harus membuat Teto untuk pertama kalinya melepaskan segala keangkuhannya dalam sebuah pengakuan:

”Aku bukan orang kuat Atik. Kau pun juga tidak. Kita harus saling menjaga, justru karena kita bukan orang kuat.” (BbM – Hal 256 – Teto pada Atik)

Pada akhirnya, sosok Larasati dalam cerita ini memang bertakdir hidup bersama Janakatamsi, lelaki budiman yang begitu pengasih terhadapnya. Sedang Teto sendiri saat bertemu kembali dengan Atik, kala itu telah berstatus duda.. Namun demikian, Atik yang telah berputera tiga seakan tengah mengalami puber kedua jika harus kembali berhadapan empat mata dengan Teto, lupa status dan segala gelar. Bagaimana dengan Teto? Sudah saya jelaskan, Eyang Mangun telah mengatasi mentalnya. Tentu saja Teto ingin namun sekaligus tak ingin dan begitulah Teto, lelaki manyar yang kalah perang walau sebenarnya bisa saja menang. Teto kalah dengan terhormat dan Janakatamsi menang juga dengan sangat terhormat. Hanya saja, Atik... ah, dia berulah lagi:

”Mas Teto, untung ya kita bukan suami-istri.”
”Kau ngomong aneh apa lagi ini?”
”Tidak. Kalau cinta suami-istri itu kan datar-datar saja. Kalau mencintai yang bukan suaminya kok lebih hebat rasanya.”
”Kau doktor biologi hebat, tapi tolol sekali soal perkawinan.”
”Memang, diakui saja.” (BbM – hal 259 – Atik & Teto)


Harus disebut apakah perempuan seperti Atik? Bersuami dan tapi masih hidup dalam perasaan suka yang selalu tidak pernah dapat ia sembunyikan? Perasaannya.. salahkah? Saya rasa tidak, setidaknya untuk cara Atik yang tidak pernah membohongi dirinya sendiri. (BbM-SDD-27082014)

Sabtu, 23 Agustus 2014

HAVE A NICE SLEEP (Shinta Ardinta)



      
      Saat ini, aku sedang  berada di ruang aquarium berukuran 3x3 meter, dengan telinga dibebali puluhan suara beraroma pop western era 90an dan diluar hujan. Bagaimana semua bisa terasa begitu serasi? Rasa ingin yang kusimpan kuat-kuat dan nada lagu yang menyindir kian hebat. Ah, siapa suka membaca isyarat cinta yang isinya hanya merujuk pada hubungan 2 senyawa? Kupikir kau tidak. Mereka juga tidak. Tapi aku suka. Seperti ketika kau lebih suka pada takaran 2-1 untuk ukuran sendok teh dan cangkir mungil kopimu. Akupun suka siasat sambal saja tanpa saus nan kecap untuk mie ayam atau mangkuk baksoku. Jadi, jika kita berbeda apakah masih bisa diterima?
      Kenyataannya tidak. Perbedaan itulah yang akhirnya memaksa kita untuk tidak bisa bersama walau ingin. Oh, mungkin hanya aku saja yang ingin. Entahlah. Perpisahan kita kemarin rasanya seperti paceklik panjang yang menghabiskan segala jatah air mataku. Perpisahan yang katamu adalah yang memang semestinya begitu, sebaliknya kubantah habis sebenarnya kau juga tidak ingin begitu. Kau masih cinta aku kan? Oh darl, semestinya kita tidak perlu berpisah setelah sekian lama terbiasa bersama.
***
”Ayolah, jangan mengasihani dirimu sendiri. Iya aku tadi sangat tidak nyaman meski bisa menguasai keadaan, tapi aku tidak bisa menutupi rasa kecewaku padamu. Kecewa karena kamu seolah ingin tahu bagaimana reaksiku saat melihatmu sedang bersama yang lain. Berarti kamu tidak percaya aku. Semoga, besok pagi, saat kamu membaca pesan ini, segalanya bisa kembali normal lagi, buatmu, aku ataupun dia. Good night, Sofia. Aku (masih) sayang kamu. Dan itu (masih) terasa cukup buatku. Tak akan ada yang berubah, hanya bergeser. Percayalah!.”
Pesanmu semalam, baru kudapati sepagi. Kau memang selalu begitu. Selalu rumit dan penuh taktik. Aku tidak mengerti harapan, cita-cita dan arahmu tapi kudapati kini aku terlanjur tersesat. Tersesat pada perasaanku sendiri yang sepenuhnya belum bisa menerima ini. Tersesat di persimpangan ikhlas dan meratap kandas. Bagaimana bisa aku semenyedihkan ini? Apa arti cantik, cerdas dan segala lebihku yang ternyata bahkan tidak pernah bisa menahanmu untuk tetap berjuang menemui senja usia bersama? Kau benar-benar.. Menyebalkan!!!
                                                                           ***
Ini minggu ketiga sejak perpisahan kita. Malamku lengang tapi tidak turut memaksa hilang biasaku menunggumu pulang. Akhirnya aku paham, sandarmu bukan disampingku lagi sekarang. Tergesa kukirim pesan, agar tidurku sedikit lebih tentram.
”Mas, boleh minta ucapan selamat tidur?”
”Boleh minta apapun, tapi belum tentu kuberi.”
”Mas..”
”Ya.”
”Aku saja yang bilang. Aku sayang, mas. Selamat tidur.”
”Haha, jangan nelangsa. Aku sebisa mungkin menghindari apa yang tidak baik buatmu. Diantaranya adalah bilang sayang padamu.”
”Pastinya rasanya tidak enak. Sama seperti setiap pagi bangun dengan perasaan sedikit kecewa karena tidak lagi menemukan kalimat -Selamat Tidur, Sofia- seperti yang selama ini sering terjadi.”
”Lama kelamaan akan terbiasa. Kecuali jika kamu pelihara. Have a nice sleep. Don’t dreaming!.
***
      ”Pernah Ada” memang tidak searti dengan ”Sedang Ada”. Seperti biasa, walau sudah tidak bersama, kita masih saling bagi. Tentang hidup kita yang mulai berwarna, tentang hal-hal konyol yang sesekali kita kenang dan tentang kesepakatan yang mulai kita perbarui.
      Suatu ketika, rasa cemburu itu menyapa lagi. Cemburu yang salah karena memang tiada alasan apapun yang membenarkan sikap dari rasa posesif tak bertuan ini. Siapa aku dan memangnya siapa kau sekarang?. Apa yang bisa kulakukan selain menunggu caramu besikap? Nyatanya, aku memang tidak pernah bisa mengabaikan pesan singkatmu yang tidak hanya menggetarkan HP-ku tapi juga hatiku sekaligus.
”Sofia, aku kangen.”
”Hah?”
”Iya aku kangen.”
”Sama?”
”Kamu.”
(hening)
”Aku masih sayang kamu, Sofia. Dan tidak ingin berseteru denganmu terus. Sampai lupa caranya kangen gara-gara sikap marahmu. Soal kedekatanku dengan perempuan lain, idealnya kamu mengerti karena aku tidak ingin semakin jauh denganmu. Semakin jauh semakin dalam. Disamping memang aku sedang punya banyak tanggung jawab dan butuh ngopi bersama rekan untuk menenangkan pikiran. Dan jika denganmu aku semakin pusing karena aku tetap beranggapan bahwa hubungan ini salah. Di sisi lain, masih ada perasaan yang menuntunku untuk bertemu denganmu. Jujur aku kangen. Berdua denganmu. Biasa-biasa saja. Sewajarnya saja. Tanpa harus memikirkan hubungan ini kedepannya seperti apa. Have a nice sleep, Sofia.”
      Aku belum tidur, belum sebelum mendapat ucapan itu. Meski hanya sebatas kalimat yang terbaca sama setiap harinya dan meski tak selalu kubalas, sepenuhnya kau perlu tahu bahwa karenanya tidurku akan kembali pulas. Malam ini bersama sisa mata yang sembab, aku mengganti rasa cemburuku dengan yakin yang pasti bahwa kau masih cinta!
***
      Hari ini kita kencan. Sebenarnya kurang pas kalau pertemuan kali ini dibilang kencan karena memang kita bukan lagi sepasang walau nyatanya aku masih saja suka kasmaran. Apapun namanya, hari ini aku akhirnya merasainya lagi. Bertemu denganmu, berdebar dan tidak lagi kecewa seperti beberapa waktu lalu. Ya, beberapa waktu lalu kita hampir saja kencan, kau sudah menjemputku dan mendadak kau bergegas pula meninggalkanku bersama kata maaf yang terburu. Alasannya? Apalagi kalau bukan karena urusanmu dan kolegamu dan apalah itu yang aku selalu tidak pernah paham tentang arti mereka bagimu dan bagi kelangsungan hidupmu. Yang aku tahu, kau begitu menghormati mereka. Itu saja.
      Kau memang selalu sibuk dengan duniamu yang penuh dengan do’a-do’a, politik dan urusan kaum atas yang membuatku hanya mengangguk-angguk setiap kali kau begitu antusias bercerita tentang nabi-nabi, hukum-hukum dan tentang hal-hal yang berbau filosofi. Kalau sudah begitu, kau mungkin tidak sadar betapa cerewetmu lantas membuatku gemas. Kau memang menggemaskan.
      Dunia kita memang begitu kontras, darl. Itu yang akhirnya kusadari tentang alasan mengapa kita berpisah. Kau memang lebih pantas mendapat yang lebih, yang bukan seperti aku dan segenap pemikiran dangkalku.
      Kira-kira bagaimana rasanya menjadi sepertimu? Yang pada sudut lain juga tidak dapat kututup mataku bahwa kau sedikit banyak selalu menyempatkan waktu menemuiku, mengajakku melihat tinggi rendah daratan dan terjaga menjelang tidurku hanya untuk membisikkan kata ”Have a nice sleep”. Aku memang begitu beruntung, setidaknya untuk pernah dimiliki lelaki yang tidak pernah mengumbar kata dan rasa sayangnya padaku di dunia maya, namun merujuk jelas begitu sayang dalam sikap nyata yang hanya ditunjukkan padaku. Hanya aku. Atau sesekali dihadapan mereka jika rasa malumu sedikit berkurang. Ya kan?
”Kenapa diam? Aneh, seperti baru mulai kenalan saja. Diam. Bingung memulai, mencari kata-kata yang tepat dan oh, apa kau masih ingat kapan kita pertama kali kencan?” Aku segera bingung mencari fokus untuk menjawab kalimat panjangmu.
”27 Desember.”
”Bagaimana bisa kau selalu ingat?”
”Entahlah.” Aku kembali asyik menghabiskan bebek gorengku sambil sesakali menatap air mineralmu yang jernih. Kau sadari atau tidak, aku juga tahu kau tidak pernah bisa berpisah jauh dengan cairan itu.
      Ampun aku untuk ukuran perutku yang ternyata hanya mampu menampung jatah setengah dari sepiring nasi yang terhidang. Melirik sejenak pada piringmu, habis bersih dan pikiranku yang iseng lantas menarik simpul sesukanya. Nasi ini ibarat rasa, rasamu padaku mungkin sudah habis tapi lihat punyaku bahkan masih tersisa banyak. Andai kau tahu atau andai kau mau tahu dan ayolah jangan berpura-pura tidak tahu.
***