”Tik, serius. Bagaimana seandainya, ini hanya... hanya seandainya. Bagaimana seandainya Teto tidak berminat padamu, jangan lagi melamar. Kan bertepuk tangan sebelah tidak bisa.”
”Kalau dia tidak melamar, sayalah yang melamar.”
Terkejut Bu Antana mendengar ucapan yang menurut adat tidak semestinya itu.
(BbM – hal. 139 – Bu Antana & Atik)
Boleh saya tanya sesuatu? Pernahkah anda sebagai
perempuan melakukan hal-hal diluar nalar untuk mengapresiasikan rasa suka anda
terhadap pasangan? Atau pernahkah anda sebagai seorang lelaki mendapat
perlakuan yang begitu berkesan dari perempuan yang pernah atau sedang hidup
dalam rotasi hati anda? Jika bagi anda menyukai dan disukai saja sudah cukup,
maka mungkin anda perlu banyak belajar dari sosok Atik tentang apa yang namanya
seni menyatakan perasaan, menyusun rencana dan menerima konsekuensi atau
bagaimanapun caranyalah agar supaya perasaan suka tersebut tidak hanya sampai
pada titik stagnan, terpendam, habis, monoton dan membosankan.
Selain Atik, novel ini turut bercerita tentang
sosok Teto dan masa lalunya yang acak, dimana teduh berubah gaduh. Ayah yang
hilang, ibu yang mati gila, pujaan yang bersebrang pandang dan jabatan yang
tinggi namun sekaligus makan hati adalah yang kemudian melahirkan sosok Teto
yang penuh dendam, kuat tapi rapuh dan sekaligus mati kutu karena angkuh. Namun Teto punya rasa, satu-satunya alasan
yang membuat lelaki ini kemudian memilih untuk bertahan hidup dalam takut. Takut
akan nasib dan pengakuan kenyataan yang baginya tak pantas untuk ditukar dengan
segala jenis keberuntungan pada sosok Atik, perempuan yang disukainya.
Atik, Atik, Atik dan Atik lagi...Seperti apa
memangnya karakter Atik dalam cerita ini? Kalau anda pernah membaca beberapa
novel sejenis, maka anda mungkin akan sepaham dengan pendapat saya seperti
berikut:
Pencitraan perempuan pada tokoh Atik di novel ini
tampak jauh berbeda dengan beberapa novel roman kawakan sejenis semisal sosok
Analise dalam Bumi Manusia karya PAT yang terkesan begitu rapuh, Srintil ala
Ahmat Tohari dalam Sang Penarinya yang ”berani” namun sekaligus terbelakang,
atau sosok Tuti yang teguh saja pun Maria yang anggun saja dalam Layar
Terkembang karya Alisyahbana. Burung-burung Manyar, adalah novel roman karya
Eyang Mangun yang dibangun dengan apik dengan menghidupkan sosok Atik yang
cerdas dan merupakan perpaduan antara Kartini dengan segala bentuk
emansipasinya, Klenting Kuning dalam upaya ”ngunggah-unggahi” (melamar) Ande-ande
Lumutnya, sekaligus sosok Amelia pada sebuah lagu yang tergambar begitu lincah
dan riang gembira.
”Apa kau kira orang yang dipimpin itu selalu lebih lemah?” Matanya bening dan lebar penuh pertanyaan. Kuteruskan: ”Jana tidak
dipimpin. Dialah yang memimpin, Atik. Hanya kau yang tidak tahu. Susahnya kau wanita terlalu pandai. Tetapi terlalu emosi juga.”
”Apa salahnya?”
”Bukan soal salah. Memimpin tidak selalu dengan komando, Tik. Kualitaslah
yang memimpin dan kualitas sering menang tanpa kata. Kau mestinya harus tahu
itu. (BbM – hal 255 – Teto & Atik)
Dalam percakapan tersebut Eyang Mangun
menggambarkan sosok Atik yang keras kepala dengan segala bentuk pandangannya.
Untung saja Teto tidak kalah bijak dalam bersikap. Masa lari dari kenyataan dan
melepas segala jenis kesusahan yang membebani jiwanya termasuk perasaan
sukanya, telah mengajari Teto seni untuk menjaga. Menjaga agar rumah tangga
Atik tetap utuh. Menjaga agar semua berjalan sebagaimana mestinya. Menjaga agar
ia sendiri mampu mengendalikan perasaannya. Walau akhirnya Eyang Mangun sendiri
juga harus membuat Teto untuk pertama kalinya melepaskan segala keangkuhannya
dalam sebuah pengakuan:
”Aku bukan orang kuat Atik. Kau pun juga tidak. Kita harus saling menjaga,
justru karena kita bukan orang kuat.” (BbM – Hal 256 – Teto pada Atik)
Pada akhirnya, sosok Larasati dalam cerita ini
memang bertakdir hidup bersama Janakatamsi, lelaki budiman yang begitu pengasih
terhadapnya. Sedang Teto sendiri saat bertemu kembali dengan Atik, kala itu
telah berstatus duda.. Namun demikian, Atik yang telah berputera tiga seakan
tengah mengalami puber kedua jika harus kembali berhadapan empat mata dengan
Teto, lupa status dan segala gelar. Bagaimana dengan Teto? Sudah saya jelaskan,
Eyang Mangun telah mengatasi mentalnya. Tentu saja Teto ingin namun sekaligus
tak ingin dan begitulah Teto, lelaki manyar yang kalah perang walau sebenarnya
bisa saja menang. Teto kalah dengan terhormat dan Janakatamsi menang juga
dengan sangat terhormat. Hanya
saja, Atik... ah, dia berulah lagi:
”Mas Teto, untung ya kita bukan suami-istri.”
”Kau ngomong aneh apa lagi ini?”
”Tidak. Kalau cinta suami-istri itu kan datar-datar saja. Kalau mencintai
yang bukan suaminya kok lebih hebat rasanya.”
”Kau doktor biologi hebat, tapi tolol sekali soal perkawinan.”
”Memang, diakui saja.” (BbM – hal 259 – Atik & Teto)
Harus disebut apakah perempuan seperti Atik?
Bersuami dan tapi masih hidup dalam perasaan suka yang selalu tidak pernah
dapat ia sembunyikan? Perasaannya.. salahkah? Saya rasa tidak, setidaknya untuk
cara Atik yang tidak pernah membohongi dirinya sendiri. (BbM-SDD-27082014)