Minggu, 29 Desember 2013

BAWANG MERAH KEDUNGADEM, BAWANG MERAH UNTUK SEGALA DAERAH #ExploringBojonegoro





(5)
Jawa Timur dan bawang merahnya. Daerah mana yang lantas kemudian terbesit sebagai daerah penghasilnya? Kebanyakan masyarakat pasti lantas menerka Nganjuk. Jika memang benar begitu, maka mulai saat ini, masyarakat harus mulai mengenal satu daerah lagi yang begitu potensional sebagai daerah penghasil bawang merah. 


Desa Duwel yang terletak di Kecamatan Kedungadem, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur adalah salah satu desa penghasil bawang merah paling produktif diantara desa lain yang terletak disekitarnya. Selama ini kawasan Kedungadem memang dikenal sebagai daerah penghasil bawang merah dengan luas lahan untuk penanaman bawang merah yang mencapai 1000 Ha. 



Menurut penuturan Bapak Moh. Hasim selaku Kepala Desa Duwel, jenis bawang merah yang banyak ditanam di daerahnya adalah bawang merah jenis bauji dimana bibitnya memang berasal dari daerah Nganjuk. Selama ini petani bawang merah di daerah tersebut memang terkendala pada penyediaan bibit yang didukung pula dengan pasokan air yang dirasa kurang akibat fungsi embung (danau tadah air) yang ada juga kurang begitu potensial.

Musim tanam yang berlangsung selama 60 hari atau sekitar 2 bulan hanya mampu dimanfaatkan untuk 2 kali panen setiap tahunnya. Padahal jika dihitung dalam skala normal, dalam satu tahun harusnya wilayah tersebut mampu melakukan masa panen sebanyak 6 kali. Pada musim panen, biasanya kawasan ini mampu memanen bawang merah hingga 88ton/hari. Untuk daerah pemasaran, selama ini wilayah Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Malang, Pati, Lamongan dan Bojonegoro kota sudah menjadi relasi tetap.


Bapak Moh. Hasim mengaku jika selama ini modal yang dibutuhkan untuk satu kali musim tanam hanya berkisar sekitar 3,5 juta dengan hasil maksimal mencapai 15 juta pada musim panen. Dengan demikian, masyarakat Kedungadem khususnya Desa Duwel yang notabene merupakan petani bawang merah, sudah dapat dikatakan sejahtera. Namun,  Bapak Moh. Hasim turut berharap agar supaya kejadian 2010 dimana petani bawang merah merugi hingga puluhan juga akibat terjadi impor bawang merah besar-besaran, tidak perlu terjadi.


Untuk meningkatkan potensi yang ada, selain dengan mulai menyiapkan bibit bawang merah secara mandiri, masyarakat Desa Duwel diharapkan juga mampu mengolah bawang merah dengan variasi lain. Misalnya bisa dengan memproduksi bawang merah goreng dalam bentuk kemasan, rempeyek bawang merah atau jenis makanan olahan yang lain.

Dilain sisi, pemerintah juga perlu untuk mulai mengembangkan daerah Kedungadem sebagai daerah wisata budidaya bawang merah dimana nantinya masyarakat yang berkunjung tidak hanya disajikan dengan pemandangan hamparan lahan bawang merah, melainkan mampu belajar secara langsung untuk bercocok tanam atau bahkan dapat pula mengadakan penelitian yang terkait.


Perekonomian Bojonegoro, harus melesat dari segala sisi termasuk dari hasil panen bawang merah asli Kedungademnya!!

Sabtu, 28 Desember 2013

JAGA TRADISI, NJONO MENARI #ExploringBojonegoro




(4)
Berbicara soal seni, adalah berbicara tentang keindahan yang dijiwai dengan hati. Pada kesempatan kali ini, saya dan rekan berkunjung ke Desa Njono, Kecamatan Temayang yang terkenal dengan Kesenian Tayubnya setelah sebelumnya kami menyempatkan mampir ke sumber mata air alami yang terletak di Desa Ngunut. Pemandangan rindang dan nuansa air yang begitu bening dan segar membuat sungai jernih ini dijadikan sebagai pasokan utama PDAM untuk wilayah Bojonegoro. 

 
Meninggalkan pengalaman seru di sumber mata air. Saya kembali takjub dengan satu lagi potensi budaya yang ada di Desa Njono. Kali ini saya bertemu dengan sosok Bapak Dasuki yang tidak lain merupakan camat sekaligus penggagas kesenian Tayub di desa tersebut.


Sejak menjabat sebagai camat pada tahun 2007 silam, Pak Dasuki lantas mendirikan paguyupan seni tayub dengan nama SANGGAR ANUGRAH yang saat ini tengah mempunyai 21 sindir dari berbagai usia mulai dari usia 12 tahun hingga usia dewasa. Berbicara soal mencari bakat pemain seninya, Pak Dasuki membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut serta berlatih bersama di paguyupan seni miliknya yang juga menyajikan kesenian ketoprak dan gamelan. 


Ada pula seni membatik yang turut dikembangkan pada desa tersebut. Hal ini membuat masyarakat Desa Njono semakin mandiri dan sejahtera dengan ketrampilan yang mereka miliki.
Terlebih produk batik yang ada sudah mendapat tempat di pasaran luar negri. Sedang untuk jangkauan pentas kesenian tayub,  meski masih dalam lingkup dalam negri, namun sejauh ini Kelompok Tayub Desa Njono telah menjejalah daerah Pekanbaru, Batam dan daerah lainnya untuk menampilkan kesenian khas Bojonegoro ini. Untuk sekali pentas, biasanya kelompok tayub ini dihargai sekitar 7,5 juta – 12 juta sepaket. 


Kesenian tayub adalah tradisi budaya yang tidak hanya perlu dijaga namun juga dikembangkan dan di promosikan. Kesenian ini dapat menjadi daya tarik wisata tersendiri jika mendapat tempat pementasan yang pas seperti halnya kesenian Tari Kecak  dan Tari Bali khas Bali yang mendunia. Hanya saja selama ini akses untuk promosi masih terbatas hanya pada lingkup-lingkup tertentu.


Lain halnya bila kesenian ini mencontoh kesenian Reog Ponorogo dimana Kesenian Tayub juga mampu dikembangkan untuk dijadikan ajang lomba seni tayub antar kota, antar universitas atau mungkin antar provinsi yang mana tempat  pertunjukkannya dapat dirujuk pada lokasi wisata Bojonegoro misalnya Khayangan Api, Bendung Gerak atau tempat strategis lainnya pada acara monumental seperti acara malam puncak Grebeg Suro.

Bojonegoro Berbagi, Njono Jaga Tradisi, Tayub  Guyup Siap Beraksi! B)

BUKIT TELETUBBIES ALA TIRTA WANA DANDER #ExploringBojonegoro




(03)
Kamis, 19 Desember 2013.

Petualangan hari kedua kali ini melaju ke sebuah lokasi ”Bukit Teletubbies” yang ada di selatan Bojonegoro. TIRTA WANA DANDER, begitu orang Bojonegoro banyak menyebutnya, adalah sebuah lokasi padang golf yang dilengkapi dengan sajian kolam renang dan juga biasa digunakan sebagai tempat perkemahan bagi anggota pramuka. Fasilitas umum seperti toilet dan warung makan turut mendukung pesona alamiah aliran jernih air sungai yang bersumber dari pegunungan. 


 
Lantas, mengapa saya menyebutnya sebagai ”Bukit Teletubbies”? Hal ini adalah karena sejak pertama kali melihat padang golf yang ada disana, mata saya langsung terperangah pada hamparan hijau dan aura ilalang berwarna pink yang dilengkapi dengan jajaran kambing gembala yang kala itu tengah ramai merumput. Kondisi ini lantas mengingatkan saya pada Bukit Teletubbies yang indah, damai dan nyaman yang kala itu hanya mampu saya dapati di layar televisi.



Semakin melangkah menyusuri sepanjang jalan Bukit Teletubbies Tirta Wana Dander, semakin saya sadar bahwa aset wisata yang mempesona ini bisa dibilang mengalami krisis. Hal ini dikarenakan, keberadaannya Bukit Teletubbies Tirta Wana Dander terbilang cukup memprihatinkan karena kondisi lingkungannya yang tidak lagi terjaga. Hal ini tentu sangat disayangkan bila menilik lokasi ini sebenarnya mampu dikembangkan layaknya Kebun Raya Bogor melihat dari udara, lahan dan keasrian yang ada. 
 

Taman Tirta Wana Dander sebenarnya bisa lebih dikembangkan sebagai tempat penangkaran hewan langka atau bahkan tempat perkembangbiakan tanaman khas ala Indonesia semisal taman bunga anggrek, anyelir dan lain sebagainya. Selain itu,  taman ini juga bisa lebih dipromosikan sebagai lokasi hunting foto yang menawan bagi para pecinta dunia fotografi. Pengembangan tempat outbond dengan dibangunnya flying fox atau permainan olahraga fisik pun terasa pas untuk dikembangkan di taman ini. Pembangunan pendapa untuk tempat pementasan wayang, teater ataupun pertunjukan khas Bojonegoro juga dirasa perlu untuk mendukung pesona taman wisata ini agar lebih mendunia dan banyak dikunjungi masyarakat domestik maupun luar negri. Tentunya juga perlu dukungan sinyal Wifi agar para pengunjung semakin nyaman berkunjung ke tempat ini.



Potensi yang ada pada Bukit Teletubbies ini tidak hanya bisa mandeg sampai disitu, karena pembangunan pasar kreasi hasil kerajinan serta oleh-oleh khas ala Bojonegoro juga dapat dikembangakan pada titik ini. Namun yang terpenting dari semua ini adalah diperlukannya kerjasama dari semua pihak untuk turut menjaga dan mengembangkan aset yang telah ada demi kesejahteraan bersama.

Bukit Teletubbies-ku, hijau permai nan damaikanlah kami selalu! :) 


Kamis, 26 Desember 2013

WONOCOLO, SURGA MINYAK, SURGA DUNIA #ExploringBojonegoro



(2)


Perjalanan berlanjut menuju ke lokasi potensial berikutnya yang ada di Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Di daerah ini merupakan kawasan tambang minyak bumi yang mana sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai penambang minyak.

Perjalanan menuju Desa Wonocolo tampak begitu mengagumkan dengan nuansa jalannya yang serupa menyusuri kawasan pegunungan. Rimbun, sejuk dan penuh pepohonan rindang. Kawasan ini seakan menjadi Kota Batunya Bojonegoro yang bebas polusi dan masih asri. Tampak di beberapa titik jalan, tengah berlangsung perbaikan jalan untuk mempermudah akses jalan menuju Desa Wonocolo.



Perjalanan berikutnya tampak begitu berbeda dengan nuansa pemandangan beberapa sumur pompa minyak milik Pertamina yang berada di sekitar kanan kiri jalan. Di lokasi tersebut, saya dan rekan sempat mengambil beberapa gambar. Tidak seberapa lama kemudian, kami tiba di daerah tambang minyak yang mana proses pengolahannya masih menggunakan cara tradisonal yaitu dengan menggunakan alat-alat tradisonal berupa sumur kayu tua dan tenaga manusia untuk menambang sumur dan mengolah minyak.



Pak Samsuri adalah salah satu penambang minyak yang kami jumpai di lokasi. Sambil menikmati waktu istirahatnya, beliau banyak bercerita mengenai kegiatan tambang minyak yang ada di sana. Menurut penuturan Pak Samsuri, tambang minyak yang tengah kami kunjungi merupakan tambang minyak milik KUD Usaha Jaya Bersama yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat Desa Wonocolo. KUD Usaha Jaya Bersama ini berdiri sejak tahun 2008. Para penambang minyak biasanya mulai beraktifitas sejak pukul 6 pagi hingga 10 pagi. Kemudian, pekerjaan berlanjut dari jam 1 siang hingga jam 6 petang. 


Tambang minyak milik KUD Usaha Jaya Bersama ini biasanya mematok harga Rp. 700.000,- untuk setiap penjualan 1 tangki minyak mentah dan Rp. 850.000,-  untuk setiap penjualan 1 tangki minyak yang telah diolah. Sejauh ini, hasil tambang minyak yang ada di daerah tersebut memang masih mengandalkan pihak Pertamina sebagai penadahnya. Dari hasil penjualan minyak tersebut, biasanya para pekerja di tambang minyak mendapat upah sekitar Rp. 50.000,-  hingga Rp. 100.000,- per hari yang dibayarkan setiap harinya.


Pak Samsuri menambahkan jika selama ini para penambang minyak memang hanya terkendala oleh perubahan cuaca karena saat musim penghujan seperti saat ini, penambangan dan pengolahan minyak tidak dapat dilakukan secara maksimal.

Dengan potensi pemandangan alam yang indah serta Sumber Daya Alam (SDA) berupa kandungan minyak bumi yang melimpah, sudah seharusnya Bojonegoro mampu mandiri untuk mengolah potensi yang ada sehingga mampu meningkatkan income yang tentu diharapkan dapat berimbas pada tingkat kesejahteraan masyarakatnya.

Pembangunan kawasan wisata alam berupa outbond, villa, hotel atau bahkan tempat penelitian tambang minyak merupakan salah satu ide yang sekiranya dapat dikembangkan pada daerah ini. Disamping itu, Bojonegoro juga harus mulai mampu berbenah untuk lebih mampu memberdayakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada untuk dapat mengolah dan memasarkan hasil tambang minyak bumi agar supaya SDA yang ada tidak perlu mendapat campur tangan pihak asing. 

Di Desa Wonocolo, banyak juga dijumpai sumur tua yang sudah tidak berproduksi. Hal ini dapat pula menjadi salah satu obyek wisata yang menarik misalnya sebagai tempat kegiatan off road dan sebagainya. Minimnya fasilitas umum seperti SPBU dan lampu penerangan jalan di kawasan ini juga perlu mendapat perhatian dari pemerintah agar supaya pengguna jalan lebih nyaman ketika berkujung ke WONOCOLO!




Untuk sekedar informasi bahwa selain mampir ke Wonocolo, kita juga dapat berkunjung ke daerah Kasiman untuk membeli oleh-oleh kayu ukir khas Bojonegoro yang tersedia dalam berbagai bentuk ukiran. Beberapa diantaranya adalah ukiran berbentuk kaligrafi, jam, gitar dan masih banyak lagi. Tunggu apalagi? Liburan? Sesekali mari berkunjung ke WONOCOLO!!

Minggu, 22 Desember 2013

MALO, GERABAH UNTUK DUNIA #ExploringBojonegoro



(1)
Kita berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Namun ternyata tanah tidak hanya sekedar menjadi tempat asal dan kembali. Bagi sebagian besar masyarakat Malo, tanah merupakan penyambung nyawa dan lahan untuk berkreasi.

 Jembatan Malo Van Bojonegoro
 
Rabu, 18 Desember 2013.
Siang itu, setelah berbincang sekedar dan meluangkan waktu makan siang dengan menu sate dan gule di warung Mbak Min bersama Bapak Dandy selaku camat di Kecamatan Malo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, saya dan tim rombongan #ExploringBojonegoro melanjutkan perjalanan hari pertama kami menuju rumah salah satu pengerajin gerabah yang ada di kawasan setempat. 


Bapak Safraun yang tidak lain merupakan pemilik rumah dan sekaligus tengkulak kerajinan gerabah celengan, menyambut kedatangan kami dengan antusias. Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk saling berbaur. Setelah dipersilahkan masuk ke dalam rumah beliau yang notabene tampak penuh dengan jajaran celengan warna warni dengan berbagai bentuk binatang, Pak Safraun lantas mulai bercerita tentang awal mula usahanya sebagai tengkulak gerabah yang telah dilakoninya sejak sekitar tahun 1980an. Dengan modal hutang seadanya dari tetangga, Pak Safraun lantas menghimpun hasil kerajinan gerabah milik tetangga sekitarnya yang kala itu belum memiliki wadah dan tempat pemasaran yang pas. 


Hingga saat ini, kerajinan gerabah ala masyarakat Malo mampu memproduksi sekitar 20 buah celengan beraneka bentuk per hari. Sedang dalam setiap kali pengiriman, Pak Safraun mampu mengirim 80 buah celengan ukuran besar, 80 buah celengan berukuran sedang dan 100 buah celengan berukuran kecil. Harga celengan tersebut juga cukup variatif yaitu mulai harga Rp. 7.000,- hingga sekitar Rp. 75.000,- per buah. Untuk saat ini, pemasaran gerabah celengan ini masih mencakup kawasan Ponorogo, Kudus, Semarang, Solo dan termasuk Bojonegoro kota. 


Selama menjadi tengkulak, cuaca turut menjadi salah satu kendala yang mempengaruhi jumlah produksi gerabah celengan. Tidak hanya itu, dari tempat pembuatan asalnya, ternyata produksi gerabah celengan ini juga belum mampu mencakup pasaran internasional atau bahkan setidaknya mencakup lingkup nasional. Padahal menurut penuturan Bapak Dandy selaku camat di Kecamatan Malo, dalam suatu jadwal kunjungannya ke Kota Malang, Jawa Timur, bahwa tanah yang digunakan sebagai produksi gerabah di Malang, merupakan tanah yang di impor dari Singapore dan ternyata jenis tanah tersebut begitu melimpah ruah di Kecamatan Malo.
Jadi jika memang demikian, harusnya Kecamatan Malo bisa menjadi daerah yang makmur dengan adanya kerajinan gerabah dari tanah yang berkualitas.

Melihat dari segi bentuk, menurut saya masyarakat Malo khususnya yang berprofesi sebagai pengerajin gerabah, perlu untuk meningkatkan kreasi bentuk gerabahnya sesuai dengan perkembangan zaman. Sehingga tidak melulu berpakem dengan bentuk yang ada yaitu bentuk celengan macan, gajah, bebek, dan orang utan. Tetapi mungkin bisa lebih dikreasi menjadi bentuk patung penari sandur, perahu, atau bentuk-bentuk kartun terkini dengan variasi warna yang lebih menarik.

Dengan demikian, diharapkan harga jual gerabah dapat turut meningkat dan tentu selain itu, pemerintah juga diharapkan mampu memfasilitasi masyarakat dengan terapan ilmu dagang online sehingga masyarakat Malo dapat lebih mampu memasarkan kreasi gerabahnya melalui media online yang notabene mampu menjangkau masyarakat luas dengan sekali "klik".

MALO Mendunia, Bojonegoro JUARA!! :)