Aku menangis segala jadi dalam hujatan
rasa yang membentak. Ingatan itu selalu saja membangkitkan anak-anak benci yang
membeludak. Aku ingin membenci jika boleh. Tuhan mengapa aku benci?.
Sesekali dalam tidur, linangan ini kerap
turut menghibur. Menghibur jalan buntu yang mencekat alur nafasku. Jadi mana
mungkin aku bisa lupa?. Sedang dia bukanlah orang yang kau perbolehkan untuk
kubenci. Sebuah polemik yang akhirnya menyudutkanku pada satu titik ”salah”.
*****
Malam
itu kita berbincang. Aku tahu jarak antara kita tengah mengajak kita untuk
hanya bisa saling menerima rekam suara tanpa perlu berhadapan empat mata. Aku
masih ingat dulu bagaimana ketika malam menjelang, kau sempat bercerita untuk
harus segera menolong dia yang tengah mengalami kecelakaan kecil. Jadi akhirnya
kau berangkat, dan menjemputnya, dan mengantarkannya sampai rumah, dan juga
menemui orang tuanya, dan berbincang, DAN ITU BELUM PERNAH KAU LAKUKAN PADAKU.
Aku
kembali pulih untuk kesekian kali dalam diam yang geming, Bahwa aku akan
baik-baik saja. Bahwa kau akan selalu menyayangiku dan semua akan baik-baik
saja. Jadi akhirnya kau kembali bercerita tentang dia yang kini tengah membina
hubungan yang sama rumitnya dengan kita. Aku mengamini keadaan itu dan kembali
membenamkan egoku dan rasa posesif yang menghebat.
Tapi
lantas terulang lagi hal lain yang lebih menyakitkan. Dalam taraf ukuran seorang
yang kau nyatakan ”hanya teman”, apakah lantas pantas untuk lancang memeriksa
seisi tasmu? Atau Hpmu ? dan foto-fotonya disana, dan caramu membiarkan dia.
Baiklah, aku juga cukup tahu dari bahwa aku hanya seorang pacar yang tengah
menjalani hubungan LDR, jadi mungkin aku memang tidak perlu tahu betapa akrabnya kalian dan
memang seharusnya akrab. Itu bagus kan?
Lalu
aku bertanya, seandainya aku yang melakukan hal itu pada kekasihnya, apa lantas
dia terima?. Aku masih terhenyak sekali lagi kutelan bola volly dengan volume
penuh kecewa pada lumatan bibirku yang tidak seberapa.
Aku
ingat betapa senang hatiku kala hadiah kiriman dari sahabatku telah sampai
ditanganmu, dan lalu belum sempat kau berikan padaku dan lalu dia terburu
lancang mengoreksi isi tasmu dan menemukan hadiah itu, dan membukanya, dan
membacanya dan memebriku bekas tangannya, dan kau biarkan itu begitu saja. Dari
situ aku mulai memahami bahwa teman dan pacar mungkin memiliki daerah kekuasaan
yang sama lancangnya bagimu.
Sekali
lagi dalam pembelaan yang tidak aku mengerti, atau kau rasai itu hanyalah sebuah
klise sadis yang tersembunyi dalam kaitan yang aneh. Atau mungkin aku juga
begitu. Menyakitimu dengan begitu? Membiarkan orang lain lebih penting darimu? Menyerahkan
yang seharusnya untukmu? Sebegitukah aku hingga harus selalu menahan murkaku?.
Aku
berusaha bersikap manis kepadanya, tapi mungkin bersitan egois dan kecewaku
tidak bisa menyembunyikan semuanya sebaik kau atau dia yang akan saling
membela. Entahlah. Mungkin aku memang berlebihan. Atau kalian yang keterlaluan?
Seperti namaku, aku adalah sosok yang ”tidak dikenal”. –MAAF TELAH MEMBUAT SEMUANYA JADI SERBA TIDAK NYAMAN-
Seperti namaku, aku adalah sosok yang ”tidak dikenal”. –MAAF TELAH MEMBUAT SEMUANYA JADI SERBA TIDAK NYAMAN-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar