Saya yakin, sosok wanita karier
pun juga mendamba memiliki cukup waktu mengurus rumah tangga dan menikmat kasih
sayang bersama suami dan putra-putrinya di tengah gempuran pekerjaan yang
menyita banyak waktunya. Bagi saya, wanita karier yang tetap peduli terhadap
kewajibannya sebagai ibu dan istri adalah wanita super. Yah, hidup kadang mesti
begitu, tidak semua laki-laki langsung mendapat pekerjaan bagus dan mampu
mencukupi kebutuhan keluarga untuk kemudian dapat memposisikan istrinya
"cukup di rumah saja" sehingga bukan hal yang salah jika akhirnya
sang istri mesti turut bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup dan gulir
perekonomian keluarga. Namun kadang tidak melulu perkara mencukupi kebutuhan
hidup, saya juga tidak dapat membayangkan bagaimana seandainya dunia tanpa
perawat, tanpa bidan, tanpa dukun pijat perempuan dan lantas, bagaimana dengan
nasib saya...
Pernikahan benar-benar telah
membawa berkah tersendiri dalam kehidupan saya. Setelah segala jenis keruwetan
dan berbagai sensasi pekerjaan saya lakoni, akhirnya saya mesti mengabdi utuh
untuk suami dan rumah tangga saya. Alhamdulillah sekali memang, saya memiliki
sosok suami bertanggung jawab dan berpenghasilan cukup "versi saya"
sehingga saya tidak keberatan saat suami meminta saya cukup menjadi Ibu Rumah
Tangga, belajar beraneka ragam menu masakan dan mempersiapkan generasi super
dengan berbagai ilmu dan pengalaman yang kami miliki. Allahu Akbar, Fabiayyi
ala irobbikuma tukadziban.
Sarah diproses dengan begitu
cepat dan tanpa di sangka-sangka. 18 Maret 2015 saya menikah, 22 Maret 2015
saya resmi pindah ke Madiun dan awal April kabar kehamilan itu datang. Sungguh
super. Awalnya saya mengira bahwa saya mederita masuk angin akibat rasa lelah
seusai "boyongan", hingga dipanggilah dukun pijet bernama nenek Sipon.
Namun kemudian, saya terserang rasa mual, mudah letih dan itu yang kemudian
mengusik jiwa usil suami saya untuk membeli test pack yang hasilnya sungguh
memukau. Saya hamil. Saya sempat panik saat bidan menyatakan saya hamil satu
bulan padahal saya baru 2 minggu berumah tangga bersama suami. Usut punya usut
hitungan itu dimulai dari tanggal terakhir saya pms. Wew. Hamil. Suatu hal di
luar dugaan yang memporak-porandakan susunan acara traveling saya. Pun akhirnya
kami tutup juga dengan penuh rasa syukur Alhamdulillah.
Selama hamil Sarah, hampir 5
bulan perut saya hanya mampu menerima asupan pentol, susu hamil dan obat dari
bidan. Saya mual parah, muntah hingga tidak ada yang mampu dimuntahkan selain
rasa pahit dan liur berwarna putih. Hampir setiap hari saya menangis dan suami
saya bingung menenangkan dan hampir setiap kali juga saya berdoa agar diberi
janin kembar sepasang agar kemudian saya tidak perlu hamil lagi dan merasakan
sensasi kengerian ini. Ya, setiap kali pula suami saya mengingatkan agar saya banyak
bersyukur mengingat masih banyak pasangan diluar sana yang begitu mendamba
hadirnya buah hati. Begitulah lantas saya menikmati proses.
Sejak dikandung badan, Sarah
memang bisa dibilang jabang yang tangguh. Usia satu bulan kehamilan saya rikueh
PP ngebis Madiun-Bojonegoro dengan sensasi jalan mendadak dangdut guna mengurus
surat pindah saya dan dilain kesempatan juga motoran dengan rute yang sama
untuk memenuhi undangan hajatan salah satu rekan. Masuk bulan kedua, saya dan
suami masih asyik motoran pergi ke candi Cetho dan yang paling super adalah
saat masuk kehamilan bulan ke 4 hingga 5, saya ikut camping dan sahur on the
road bersama konsulat Madiun alumni Gontor yang tak lain adalah rekan sepondok
yang sudah seperti saudara bagi suami saya. Ibarat negeri 5 menara, mereka
terdiri dari 8 sekawan. Sebagian sudah berumah tangga dan beranak pinak, sebagian
lagi masih jomblo. Lucunya, 5 dari 8 kawanan yang sudah menikah ini, semuanya
dikaruniai anak pertama perempuan. Mungkin ini sebagai kado akibat selama masa
6 tahun di pondok, para bapak ini hanya menemu lautan lelaki kali ya. Hehe.
26 Juli di usia kehamilan menuju
5 bulan, kami mengadakan acara resepsi pernikahan di Madiun karena memang
sebagai anak bungsu dari 8 bersaudara, keluarga besar suami yang rata-rata
berdomisili di luar Jawa baru bisa berkumpul di moment libur panjang sekolah
dan hari raya tersebut. Terbayang kan betapa lelahnya aura resepsi, apalagi
resepsi ala orang desa berlangsung sehari penuh siang-malam. Belum lagi prosesi
bersih-bersih rumah mandiri yang menyita waktu hampir 5 hari karena memang
seusai resepsi, saudara langsung pulang memburu tanggal 27 yang merupakan hari
pertama masuk usai libur panjang dan tentu para tetangga yang sibuk "rewang" pun menyudahi masa
"ngerewanginya" seiring usainya dengung sound resepsi. Yah, menikah
itu memang yang paling melelahkan adalah "bersih-bersih seusai
acaranya", ditambah di rumah hanya ada saya dan suami, ibu mertua yang
rumahnya bersebelahanpun sudah sangat sepuh. Untungnya waktu itu ada mas Kholik,
ponakan suami, anak dari kakak pertama yang bersedia bantu bersih-bersih rumah
juga. Alhamdulillahnya, saya punya kebiasaan buruk yang begitu dimaklumi suami,
yaitu setiap ada acara besar dan seusai bepergian, saya lebih suka mempercayakan
urusan baju kotor ke laundry edisi paket komplit. :D

2 Agustus jam 3 pagi saya dan
suami nekat motoran ke Pacitan dan lanjut hingga menembus Trenggalek guna
refreshing dan anggap saja sekaligus merayakan HUT suami yang jatuh 3 hari
kemudian. Jam 8 malam kami sampai rumah dengan selamat. Disusul kemudian
tanggal 6 Agustus saya mesti kembali ke Bojonegoro karena adanya acara resepsi
adik saya disana. Yah, 2 minggu yang hampir tanpa jeda yang kemudian
menyadarkan saya bahwa jabang saya ini ternyata anteng kalau diajak bepergian
sekalipun sikon tubuh saya menolak asupan makanan. Setelahnya, karena si perut
yang semakin membuncit dan alhamdulillah kami belum punya mobil yang artinya
kalau bepergian naik motor bakal rikueh banget nggak bisa peluk suami dari
belakang, maka dengan itu sesi jalan-jalan dibatasi hanya sekedar sampai
seputaran kota.
Jujur, selama hamil banyak
masukan yang saya abaikan semisal trisemester awal kehamilan dilarang kecapaian
tapi toh saya bismillah saja melancong sini sana, ada juga dengung perihal
mesti jauh-jauh dari kucing padahal di rumah banyak kucing, orang hamil mesti rajin jalan pagi, well yang ini masih sedikit saya taati walau cuma saya lakoni di hari Minggu bersama suami
karena di hari lain saya mesti buru-buru ke pasar dan masak sebelum suami
berangkat kerja. Lagipula, saya pikir bersih-bersih rumah, nyapu dan ngepel
juga sama sehatnya seperti rutin jalan pagi. Bisa dibilang saya
"bandel" sekali tapi bukan berarti tanpa arti karena diam-diam saya
pasrah saja pada yang menggaris hidup dengan beribu do'a. Allah Maha Kuasa,
kadang orang yang sudah teramat berhati-hatipun bisa juga tertimpa musibah jika
Ia berkehendak.
Hingga pada suatu ketika, Minggu,
6 Desember 2015 saya masih menikmati sesi jalan pagi, posting foto di fb dan
juga sensasi lezatnya ngidam pentol. Semuanya berjalan normal, tidak ada
perasaan apapun, hanya rasa lelah yang hebat yang membuat saya malas makan dan
memilih tidur siang hingga pulas. Menjelang magrib, ada rasa ingin pup yang tak
tersampaikan dan saya masih sehat wal afiat pun masih dilanda aura malas makan.
Seharian itu saya ingat betul, saya hanya makan pentol, seporsi nasi dan mie
instan. Menjelang jam setengah sebelas malam ketika saya kebelet pipis, saya
panik. Bercak darah itu muncul. Saya terburu membangunkan suami saya yang tidak
biasanya tidur lebih awal. Suami saya dalam keadaan setengah sadar berjalan
mengetuk pintu rumah ibu, bercerita kalau saya bla-bla-bla, ibu mertua saya
bilang kalau itu wajar, kata ibu, paling lahirannya 3 hari lagi. Suami saya
otomatis lebih percaya kata ibunya yang sudah berpengalaman hingga beranak 8.
Tanpa rasa panik dan mungkin sikon setengah sadar, suami saya dengan santainya
menyuruh saya tidur kembali karena dikiranya saya mengalami kelelahan akibat
bermain di taman dan rutinitas saya sehari-hari sebagai IRT.
Saya sedih, panik, sekaligus
khawatir terjadi apa-apa pada si jabang dan tapi suami dan ibu mertua saya
santai sekali. Satu-satunya hal yang bisa saya lakukan hanya menangis, bukan
karena sakit, tapi karena nelangsa kok suami saya cuek sekali. Haha. Akhirnya
karena tidak tega, tepat jam sebelas malam suami sayapun mengalah dan segera
menghubungi bidan. Benar saja, setelah sampai di bidan ternyata saya sudah
mengalami pembukaan 5. Suami saya seketika terkejut, pikirnya tadi saya akan
tepat lahiran menurut HPL yaitu tanggal 15 Desember, oleh karenanya dia begitu
santai. Well, suamipun bergegas mengambil tas berisi perlengkapan lahiran yang
sudah saya siapkan jauh hari, ibu mertua saya yang memang sudah sepuh, bercucu
20 dan bercicit 10, saya minta sholat tahajut seperti yang rutin beliau
lakukan, tak lupa saya minta restu semoga proses persalinan saya dilancarkan.
Saya melarang suami menghubungi
orang tua saya dengan alasan sudah larut malam dan saya tidak ingin membuat
mereka terutama ibu saya panik. Walhasil selain ibu mertua, suami saya lantas
menghubungi mbak Khom dan bang Salim, kakak kesayangannya yang selama ini
memang banyak membantu tanpa pamrih. Sedikit sisipan cerita tentang ngidam,
selain hobi makan pentol, saya memang
kepikiran kalau punya anak perempuan ingin seperti anak perempuan mbak
Khom, Fatma Salim alias Ling Erl. Alasannya, keponakan saya yang satu ini super
rajin, cantik, pandai ngemong ke 3 adiknya, hobi masak, sederhana, pintar
sekaligus hafidzah juz amma dan saat ini dia sedang berusaha menghafal
Al-Qur'an. Pokoknya Subhanallah deh.
Singkat cerita, 7 Desember 2015
hanya berselang 2 jam 40 menit tepatnya jam 01.40 WIB, Sarah Shidqi Ardinta
lahir secara normal di hari Senin Kliwon dengan BB 2,9 kg dan PB 46 cm. Sebuah
proses mengharukan yang disaksikan suami, bidan dan 2 asistennya secara live
dan penuh iringan do'a. Hasbunallah wanikmal wakil, nikmal mawla walatuashir.
Kalimat itu tak henti saya sebut ditengah dera sakit punggung yang menghebat.
Alhamdulillah, alhamdulillahirrabilalamin finally she was come. Sarah menangis
kencang dan tapi langsung terdiam sesaat setelah ayahnya mengumandang adzan dan
iqomat. Sarah kemudian diletakkan di dekapan saya, begitu tenang dengan keasyikannya
mengemut jemari tangan sambari mata lebarnya bergerilya mengamati suasana baru
sementara bidan sibuk menjahit berkas luka persalinan saya. Yep, moment paling
haru itu terjadi. Suami saya sempat terisak, mengucap syukur, mengecup kening
saya dan putrinya berulang dan menyelip kata "terimakasih" entah atas
apa.
Saat lahir, Sarah terlilit tali
pusar dan punggungnya penuh dengan gajih, kata bidan itu mungkin dampak hobi
makan pentol. Hahaha. Tapi rambutnya lebat dan alhamdulillah kerak kepalanya
sedikit sekali. Perihal ini, saya memang hobi masak kolak kacang hijau dan
hampir setiap hari mengkonsumsi air kelapa pemberian cuma-cuma tukang sayur
langganan saya. Disamping itu, Sarah punya sepasang lesung pipit dan mata yang
indah menurut saya. Tapi yang terpenting, Sarah sehat.
Saya dan Sarah langsung diizinkan
pulang hari itu juga setelah Sarah selesai dimandikan. Keesokan paginya, saya
sudah mulai belajar memandikan Sarah. Karena saat itu pusarnya belum
"pupak" maka saya hanya berani memandikan dengan metode sibin (di lap
pakai air hangat), hari Kamis 3 hari saat pusarnya sudah "pupak",
saya kembali belajar memandikan Sarah dalam bak mandi bayi.
Seminggu pertama sejak kehadiran
Sarah, saya kembali hobi menangis. Kali ini karena saya merasa kasihan melihat
suami mesti rela cuci piring dan tidur terpisah dari saya. Kehadiran sahabat,
baik yang jauh maupun dekat, menyempatkan untuk menjenguk Sarah membuat saya
kian terharu. Apalagi di tambah mesti melihat pemandangan ibu mertua yang
kembali masak karena saya benar-benar nggak sempat masak kecuali hanya sebatas
goreng-goreng. Begitulah. Semenjak ada Sarah, ada beberapa hal yang kian
semarak. Saya jadi sering menggunakan mode aeroplane pada smartphone saya
karena khawatir akan efek radiasi yang ditimbulkan khususnya bagi Sarah.
Aktifitas begadang saya berganti dari searching kuis menjadi ganti popok pipis.
Meski begitu, saya masih rutin menjalani kewajiban saya bebersih rumah dan
sebagainya. Memiliki bayi, bagi saya bukan alasan untuk membiarkan rumah dalam
mode "berantakan". Justru sebaliknya, semangat kebersihan dan
kerapian harus kian digalakkan agar pikiran tidak ikut "awut-awutan".
Memiliki anak itu repot tapi
lebih repot lagi kalau tidak punya anak. Bismillah, harapan saya saat ini
semoga saya dan suami diberi kemudahan memberi pendidikan terbaik untuk Sarah
dimulai dari mengerahkan segala hal yang kami bisa. Kelak Sarah tidak harus
menjadi anak yang pintar dalam segala hal, yang terpenting Sarah mestilah
pandai membawa diri dan bertanggung jawab atas segala hal yang dilakukannya.
Semoga ia menjadi putri yang kuat iman, jujur dan berlimpah syukur. Barakallah,
anakku.