Air itu kabur. Jatuh meremah dipeluk tanah.
Rerintik banyak telah jadikan basah, kemudian diserap, disekap dan pengap.
Baunya menyembul, mengisyarat akan kenang yang terkubur.
”Bangunlah dengan baik, Ann. Pejam mata terlama
harus kau akhiri sudah.”
”Jam berapa ini?” tanya Ann sambil menguap.
”Coba tebak..”
”Baru bangun kok disuruh mikir. Malasnyaaa...”
”Agar terbiasa mengendali fokus.”
Aku beranjak, membiarkan Ann mencari sadar dan
merapat menuju sekaligus menikmati jendela.
”Diluar hujan?” Suara Ann terdengar masih berat
dalam tanya.
”Ya.”
”Pantas.”
”Apa?”
”Kalimatmu jadi drama queen begitu.”
”Oh ya?”
”Hmm..”
Aku dan Ann berbicara dalam jarak, tidak bisa
dibilang jauh tapi tetap terasa ada sekat. Seperti jarak bumi pada langit yang
tali pengaitnya adalah hujan. Betapa merinding, membayangkan untuk kemudian
hanya mampu mendengar suara Ann saja, atau merasainya saja, atau menjumpa saja
dan saja-saja yang lain yang memisahkan temali dengar, rasa dan sentuh
sekaligus hingga tinggal menyisakan kesan sebagian.
***
Tiba-tiba aku rindu pada kebiasaan lama menyapu
tanah dengan ijuk dan tapi tidak berdebu. Bagiku garis-garis halus hasil kais tanda
pisah akan letak daun yang tersebar lalu terkumpul adalah hal unik lagi
menarik. Lain lagi dengan debu. Debu akan banyak tingkah jika hujan tidak lekas
hilangkan gerah.
”Nah, kan.. apa kubilang, Ann.. hujan akan segera
turun. Lihat saja, angin mulai meliung dan burung-burung tampak panik. Kau mau
kubuatkan kopi sekarang?”
”Boleh.” Sepotong kata Ann yang datar membuyarkan
antusiasku.
”Kenapa? Kok tidak bersemangat?”
”Hujan yang becek.”
”Maksudmu?”
”Maksudku tentu saja aku tidak bisa memanen senja
sore ini.”
”Kan setiap hari sudah.”
”Hari ini tidak.”
Aku masih mendengar Ann menggerutu sedang aku
sibuk berlalu. Pasukan gerimis deras penculik senja miliknya rupa-rupanya telah
membuat mood Ann berantakan. Jujur
saja aku tidak suka saat Ann mendengung. Itu terasa seperti sengat lebah
menyebalkan yang menyakiti di tiap titik. Jadi setiap kali Ann dan aku
berseteru, aku lebih suka diam atau Ann yang diam. Diam menunggu dijemput
pengertian untuk sepaham.
***
Hujan sudah turun saat aku kembali membawa
secangkir kopi pesanan Ann, sebenarnya dua cangkir, tapi yang satu untukku sengaja
kuisi coklat panas agar bersanding dengan dingin hujan yang kontras. Aku lihat
Ann masih dengan wajah masamnya, berada ditempat dimana mataku tadi memotretnya
terakhir. Setelah meletakkan sepasang cangkir, aku segera melangkah menuju
makam rahasia dimana kusembunyikan ijuk.
”Mau kemana?”
”Menyapu hujan.”
Ann sudah basah kuyup saat aku menghampirinya di
hamparan penuh perdu dengan ijuk ditangan. Ann terlihat berjalan perlahan
diantara semburat air dan daun-daun melayang yang dipanen angin dalam hujan.
Lajunya penuh nikmat, begitu tenang.
”Mari kubantu.”
”Oh..., sudah selesai upacara sedihnya, Ann?” Aku
menggoda Ann dalam ironi.
”Sudahlah jangan mengejek. Apa yang bisa kubantu?”
”Ann, tolong nikmati saja Hujan Senja hari ini.”
***
Orang bilang Ann tidak suka padaku karena aku
jahat. Padahal aku sudah bilang hal itu pada Ann beribu-ribu kali. ”Ann, aku
ini posesif.” ”Ann, aku tidak
suka perempuan manja itu.” ”Ann, lelaki itu aneh, suka sekali mengintai kita. Jangan-jangan
ia psikopat.” Orang-orang yang membilangiku tidak pernah kubilangi kalau Ann
hanya selalu tertawa menyikapiku. Aku juga tidak pernah bilang kalau setiap
kali tertawa, mata Ann pasti terkatup, seolah ia bisa melihat sisi jauh dari
diriku tanpa mata. Ann selalu mengajariku untuk banyak diam daripada banyak
bilang. Ann bilang padaku bahwa akan baik bagiku menyimpan dendam untuk diri
sendiri dan bukan untuk menyakiti. Oleh karenanya sejauh ini aku diam saja,
tanpa bilang-bilang, sekalipun untuk membantah apa yang orang bilang. Percuma.
”Senja bersinar tanpa menyakiti, hujan jatuh
kadang menyakitkan.”
”Tapi Ann, hujan menyakiti karena terlalu banyak
yang terbendung. Kadang kalau
sedang baik nan manis, gerimis terjun tipis-tipis.”
”Dasar hujan es!!’
”Konotasi apalagi
itu?”
”Keras kepala tapi cengeng. Kamu!”
”Ann...!!!” Bola mataku menyalak. Ann tertawa.
***
Arakan angin September yang panas telah banyak
mengundang ceracau akan rindu tak terbilang. Maka hujan dihantarkan dengan sempurna menemui
Oktober milik Ann. Pesta Hujan Senja akan segera tiba. Hujan yang berkilat-kilat
penuh cahaya jingga, berbias juga jadi rupa segala warna. Hari itu adalah hari
ke-dua-puluh-empat. Sejauh yang kuingat, Ann membantuku bersiap disela
genderang guntur dan potret kilat.
”Apa ini, Ann?”
”Setetes kristal air mata hujan yang dibekukan
senja.”
”Untukku?”
”Untuk siapa lagi? Sini biar ku pasangkan!”
Setelahnya, Ann bilang aku cantik!. Ajaib memang. Semoga aku tidak salah dengar.
”Selama ini, Ann. Aku tidak pernah dengar kau
memintaku menjadi apapun. Sedang aku terlalu sibuk memintamu menjadi yang
kualun. Boleh aku tahu,
kira-kira kau ingin aku jadi seperti apa, Ann?”
”Aku hanya ingin, kamu menjadi kamu yang seutuhnya.
Itu saja.”
”Ann, apa aku jahat?”
”Iya, kau iblis.”
”Tapi Ann..”
”Tidak ada tapi. Kau iblis. Iblis yang baik hati.”
Ann mengecup ubun kepalaku.
***
Aku dengar Ann kini telah dipungut jadi anak Raja
Matahari. Ann rupanya telah
mewujudkan misinya yang dulu sering ia peluk dan patri dalam sketsa siluet
senja. Aku tidak perlu sedih. Aku tahu hal ini pasti terjadi. Ann sudah jauh hari
memintaku mengerti. Maka akulah yang kini tengah mendongak, memandang senja di
langit tinggi tempat suci segala mimpi. Seberkas itu menggeliat. Warnanya
jingga. Aku tidak terlalu suka senja yang jingga. Jingga mengingatkanku pada
bayanganku sendiri yang lebam. Semakin menjadi, kuamati kepulan awan bercorak
memar, keadaan ini memperparah ketidaksukaanku. Namun apa boleh buat, karena hanya
pada warna langit seperti ini aku bisa menuntaskan rindu yang ku tikam untuk
Ann. Aku merindui Ann dalam tawa yang kuderaikan sendiri. Dimana Ann sekarang?
Sedang apa? Apakah ia masih suka membaca pikiranku yang jauh. Ataukah ia masih
bisa maklum pada kegilaanku yang amat. Bilakah ia juga masih frustasi seperti
setiap kali menyikapi aku yang diam. Sudah berapa lama kita saling diam, Ann?
Sudah berapa lama kita memutuskan diam?
***
Hari ini, aku terburu menyeka peluh mata sambari
membuka halaman kesekian di kotak ingatanku yang kusam. Anehnya, mataku hanya
mampu membaca satu kalimat. -Dia
memberikan hatinya yang bersayap dan lalu berkata hanya sekedar hinggap- (Kado
Hujan dari Ann, di masa ke-delapan). Aku terkesiap, menyadari bahwa aku tengah
berada dalam lingkar polemik yang tak perlu diketahui oleh siapapun. Jadi jika
kelak Ann memilih Dewi yang kepaknya memabukkan, atau Malam yang gulitanya
menggelapkan dan Bulan yang manjanya memuakkan maka aku akan sadar. Akulah
Hujan milik Senja. Takdirku adalah untuk jatuh memeluk tanah, bukan terbang
atau tetap menggantung bersama senja di khayangan. Aku dan Ann tidak bisa
saling menyakiti tapi juga tidak untuk terus beredar dalam garis nasib yang sama.
Hujan tidak membasahi senja dan senja mustahil membakar hujan. Keduanya hanya
mampu beriring pada masa-masa langka dimana hujan tak perlu mengundang mendung
untuk melenyapkan senja. Masa dimana aku dan Ann berpesta sua dalam Hujan
Senja.
Kadang
Ann, aku suka berpikir. Apa karena kau kini jadi anak Raja
Matahari hingga kita saling menepi? Aku merayakan harimu, Ann. Aku
merayakannya! Selamat hari penuh Hujan. Salam untuk bapakmu, Raja Matahari. Katakan
padanya, aku titip elegi.//
Tidak ada komentar:
Posting Komentar