Minggu, 26 Oktober 2014

Have I told you lately that I Love You, BOJONEGORO!

Apa yang bisa saya banggakan dari Bojonegoro? 
Kota kecil tanpa PTN, tanpa mall tenar bahkan tanpa gedung bioskop.
Apa yang bisa saya banggakan dari Bojonegoro?
Minim tempat wisata, tidak ada KFC apalagi MD.
Dan tapi kemudian, saya bersyukur..


Bersyukur bahwa dari Bojonegoro saya tidak perlu tertekan menjadi korban mode fashion dan segala bentuk agenda menghambur uang untuk sekedar pergi ke bioskop, untuk makan siang di KFC dan atau malah sebaliknya, saya tidak perlu membuang uang karena di Bojonegoro saya belajar seni mencetak uang. 

Bersama Ibu Bupati, Mahfidhoh Suyoto

"Lebih baik menjadi ratu di kerajaan kecil, daripada menjadi pembantu di kerajaan besar."
Pesan dari Bu Sri guru Matematika di SMP saya nun jauh di Madiun sana, terngiang dan jadi salah satu semangat saya ketika rapuh itu datang. Dulu saya tidak bangga sama sekali dengan bangku pendidikan yang saya anyam di IKIP PGRI Bojonegoro. Dulu saya tidak bangga sama sekali dengan logat "-leh", "-je" dan segala bentuk kedaerah yang ada di Bojonegoro. Dulu saya benar-benar tidak bangga sama sekali berada di kota kecil ini, kota yang tidak setenar Jakarta, Malang, Jogja atau minim Surabaya-lah. Dan kini saya insyafi semua itu dengan apa yang telah banyak di beri Bojonegoro pada hidup saya.

Minggu, 12 Oktober 2014

HUJAN SENJA





Air itu kabur. Jatuh meremah dipeluk tanah. Rerintik banyak telah jadikan basah, kemudian diserap, disekap dan pengap. Baunya menyembul, mengisyarat akan kenang yang terkubur.
”Bangunlah dengan baik, Ann. Pejam mata terlama harus kau akhiri sudah.”
”Jam berapa ini?” tanya Ann sambil menguap.
”Coba tebak..”
”Baru bangun kok disuruh mikir. Malasnyaaa...”
”Agar terbiasa mengendali fokus.”
Aku beranjak, membiarkan Ann mencari sadar dan merapat menuju sekaligus menikmati jendela.
”Diluar hujan?” Suara Ann terdengar masih berat dalam tanya.
”Ya.”
”Pantas.”
”Apa?”
”Kalimatmu jadi drama queen begitu.”
”Oh ya?”
”Hmm..”
Aku dan Ann berbicara dalam jarak, tidak bisa dibilang jauh tapi tetap terasa ada sekat. Seperti jarak bumi pada langit yang tali pengaitnya adalah hujan. Betapa merinding, membayangkan untuk kemudian hanya mampu mendengar suara Ann saja, atau merasainya saja, atau menjumpa saja dan saja-saja yang lain yang memisahkan temali dengar, rasa dan sentuh sekaligus hingga tinggal menyisakan kesan sebagian.
***
Tiba-tiba aku rindu pada kebiasaan lama menyapu tanah dengan ijuk dan tapi tidak berdebu. Bagiku garis-garis halus hasil kais tanda pisah akan letak daun yang tersebar lalu terkumpul adalah hal unik lagi menarik. Lain lagi dengan debu. Debu akan banyak tingkah jika hujan tidak lekas hilangkan gerah.
”Nah, kan.. apa kubilang, Ann.. hujan akan segera turun. Lihat saja, angin mulai meliung dan burung-burung tampak panik. Kau mau kubuatkan kopi sekarang?”
”Boleh.” Sepotong kata Ann yang datar membuyarkan antusiasku.
”Kenapa? Kok tidak bersemangat?”
”Hujan yang becek.”
”Maksudmu?”
”Maksudku tentu saja aku tidak bisa memanen senja sore ini.”
”Kan setiap hari sudah.”
”Hari ini tidak.”
Aku masih mendengar Ann menggerutu sedang aku sibuk berlalu. Pasukan gerimis deras penculik senja miliknya rupa-rupanya telah membuat mood Ann berantakan. Jujur saja aku tidak suka saat Ann mendengung. Itu terasa seperti sengat lebah menyebalkan yang menyakiti di tiap titik. Jadi setiap kali Ann dan aku berseteru, aku lebih suka diam atau Ann yang diam. Diam menunggu dijemput pengertian untuk sepaham.
***
Hujan sudah turun saat aku kembali membawa secangkir kopi pesanan Ann, sebenarnya dua cangkir, tapi yang satu untukku sengaja kuisi coklat panas agar bersanding dengan dingin hujan yang kontras. Aku lihat Ann masih dengan wajah masamnya, berada ditempat dimana mataku tadi memotretnya terakhir. Setelah meletakkan sepasang cangkir, aku segera melangkah menuju makam rahasia dimana kusembunyikan ijuk.
”Mau kemana?”
”Menyapu hujan.”
Ann sudah basah kuyup saat aku menghampirinya di hamparan penuh perdu dengan ijuk ditangan. Ann terlihat berjalan perlahan diantara semburat air dan daun-daun melayang yang dipanen angin dalam hujan. Lajunya penuh nikmat, begitu tenang.
”Mari kubantu.”
”Oh..., sudah selesai upacara sedihnya, Ann?” Aku menggoda Ann dalam ironi.
”Sudahlah jangan mengejek. Apa yang bisa kubantu?”
”Ann, tolong nikmati saja Hujan Senja hari ini.”
***
Orang bilang Ann tidak suka padaku karena aku jahat. Padahal aku sudah bilang hal itu pada Ann beribu-ribu kali. ”Ann, aku ini posesif.” ”Ann, aku tidak suka perempuan manja itu.” ”Ann, lelaki itu aneh, suka sekali mengintai kita. Jangan-jangan ia psikopat.” Orang-orang yang membilangiku tidak pernah kubilangi kalau Ann hanya selalu tertawa menyikapiku. Aku juga tidak pernah bilang kalau setiap kali tertawa, mata Ann pasti terkatup, seolah ia bisa melihat sisi jauh dari diriku tanpa mata. Ann selalu mengajariku untuk banyak diam daripada banyak bilang. Ann bilang padaku bahwa akan baik bagiku menyimpan dendam untuk diri sendiri dan bukan untuk menyakiti. Oleh karenanya sejauh ini aku diam saja, tanpa bilang-bilang, sekalipun untuk membantah apa yang orang bilang. Percuma.
”Senja bersinar tanpa menyakiti, hujan jatuh kadang menyakitkan.”
”Tapi Ann, hujan menyakiti karena terlalu banyak yang terbendung. Kadang kalau sedang baik nan manis, gerimis terjun tipis-tipis.”
”Dasar hujan es!!’
”Konotasi apalagi  itu?”
”Keras kepala tapi cengeng. Kamu!”
”Ann...!!!” Bola mataku menyalak. Ann tertawa.
***
Arakan angin September yang panas telah banyak mengundang ceracau akan rindu tak terbilang. Maka hujan dihantarkan dengan sempurna menemui Oktober milik Ann. Pesta Hujan Senja akan segera tiba. Hujan yang berkilat-kilat penuh cahaya jingga, berbias juga jadi rupa segala warna. Hari itu adalah hari ke-dua-puluh-empat. Sejauh yang kuingat, Ann membantuku bersiap disela genderang guntur dan potret kilat.
”Apa ini, Ann?”
”Setetes kristal air mata hujan yang dibekukan senja.”
”Untukku?”
”Untuk siapa lagi? Sini biar ku pasangkan!”
Setelahnya, Ann bilang aku cantik!.  Ajaib memang. Semoga aku tidak salah dengar.
”Selama ini, Ann. Aku tidak pernah dengar kau memintaku menjadi apapun. Sedang aku terlalu sibuk memintamu menjadi yang kualun. Boleh aku tahu, kira-kira kau ingin aku jadi seperti apa, Ann?”
”Aku hanya ingin, kamu menjadi kamu yang seutuhnya. Itu saja.”
”Ann, apa aku jahat?”
”Iya, kau iblis.”
”Tapi Ann..”
”Tidak ada tapi. Kau iblis. Iblis yang baik hati.” Ann mengecup ubun kepalaku.
***
Aku dengar Ann kini telah dipungut jadi anak Raja Matahari. Ann rupanya telah mewujudkan misinya yang dulu sering ia peluk dan patri dalam sketsa siluet senja. Aku tidak perlu sedih. Aku tahu hal ini pasti terjadi. Ann sudah jauh hari memintaku mengerti. Maka akulah yang kini tengah mendongak, memandang senja di langit tinggi tempat suci segala mimpi. Seberkas itu menggeliat. Warnanya jingga. Aku tidak terlalu suka senja yang jingga. Jingga mengingatkanku pada bayanganku sendiri yang lebam. Semakin menjadi, kuamati kepulan awan bercorak memar, keadaan ini memperparah ketidaksukaanku. Namun apa boleh buat, karena hanya pada warna langit seperti ini aku bisa menuntaskan rindu yang ku tikam untuk Ann. Aku merindui Ann dalam tawa yang kuderaikan sendiri. Dimana Ann sekarang? Sedang apa? Apakah ia masih suka membaca pikiranku yang jauh. Ataukah ia masih bisa maklum pada kegilaanku yang amat. Bilakah ia juga masih frustasi seperti setiap kali menyikapi aku yang diam. Sudah berapa lama kita saling diam, Ann? Sudah berapa lama kita memutuskan diam?
***
Hari ini, aku terburu menyeka peluh mata sambari membuka halaman kesekian di kotak ingatanku yang kusam. Anehnya, mataku hanya mampu membaca satu kalimat. -Dia memberikan hatinya yang bersayap dan lalu berkata hanya sekedar hinggap- (Kado Hujan dari Ann, di masa ke-delapan). Aku terkesiap, menyadari bahwa aku tengah berada dalam lingkar polemik yang tak perlu diketahui oleh siapapun. Jadi jika kelak Ann memilih Dewi yang kepaknya memabukkan, atau Malam yang gulitanya menggelapkan dan Bulan yang manjanya memuakkan maka aku akan sadar. Akulah Hujan milik Senja. Takdirku adalah untuk jatuh memeluk tanah, bukan terbang atau tetap menggantung bersama senja di khayangan. Aku dan Ann tidak bisa saling menyakiti tapi juga tidak untuk terus beredar dalam garis nasib yang sama. Hujan tidak membasahi senja dan senja mustahil membakar hujan. Keduanya hanya mampu beriring pada masa-masa langka dimana hujan tak perlu mengundang mendung untuk melenyapkan senja. Masa dimana aku dan Ann berpesta sua dalam Hujan Senja.

Kadang Ann, aku suka berpikir. Apa karena kau kini jadi anak Raja Matahari hingga kita saling menepi? Aku merayakan harimu, Ann. Aku merayakannya! Selamat hari penuh Hujan. Salam untuk bapakmu, Raja Matahari. Katakan padanya, aku titip elegi.//

Jumat, 03 Oktober 2014

Sajak dari Penikmat Hujan dan Senja sekaligus!!

Apa matahari sudah meninggi saat aku bilang ini hampir senin.
Aku bukan pandai pura-pura dan biar kuberitahu mereka akan adanya.
Aku sudah lelah dengan jengah dan payah.
Akan berapa banyak lagi almari yang kusimpan untuk kisah cinta mati?
Jika hujan tiba-tiba datang dan kau masih disebrang, maka mari bersua.
Seperti tanggal muda di awal tahun yang kita pernah.
Bagaimana aku menyukaimu, aku tidak tahu.
Aku tidak tahu.
Aku tidak tahu.
Aku bukan pandai sederhana.
Aku adalah pembangga.
Termasuk ketika kubanggakan namamu.
Kubanggakan namamu.
Dalam jerit yang didengar ghaib.